Jerman disebut senang berada dalam “krisis nasional yang serius”. Hal ini dikatakan perdana menteri negara bagian terpadat Bavaria, Markus Soeder, merujuk ke pemerintah Kanselir Jerman Olaf Scholz.
Ia mengatakan Berlin kini sulit menemukan jalan keluar dari kesulitan tersebut. Bahkan politisi itu memperingatkan “darurat anggaran”, kemungkinan besar akan menjadi beban lain bagi rakyat jelata.
Kata-katanya muncul sebagai tanggapan atas kebijakan pemerintah federal yang mengumumkan pencabutan kontrol harga energi. Sebelumnya, pembatasan harga listrik dan gas telah diberlakukan pada tahun 2022.
Langkah pembatasan itu diambil untuk melindungi rumah tangga dan dunia usaha dari melonjaknya harga. Harga meningkat seiring tindakan Jerman yang secara aktif mengurangi impor energi dari Rusia, sebagai respons terhadap pecahnya perang di Ukraina.
Sebenarnya pembatasan ini akan tetap diberlakukan setidaknya hingga Maret 2024. Namun pemerintah Scholz harus mengubah rencananya setelah Mahkamah Konstitusi Jerman memblokir upayanya untuk mentransfer US$66 miliar (Rp 1.025 trilium) dari dana pandemi Covid-19 yang tidak terpakai ke proyek lain, seperti transisi ramah lingkungan.
Keputusan MK 15 November itu, menentang manuver anggaran pemerintah federal untuk mengatasi “rem utang Jerman”. Dimuat Reuters, ini membuat rencana keuangan koalisi Kanselir Olaf Scholz menjadi berantakan.
Keputusan MK itu menekan pemerintahan saat ini dan pemerintahan di masa depan untuk lebih berpegang teguh pada semangat membatasi defisit anggaran struktural pemerintah hingga 0,35% dari produk domestik bruto (PDB). Bahkan ketika kebutuhan belanja meningkat.
“Kekurangan dana dan krisis anggaran tidak lain hanyalah keadaan darurat pemerintah … Scholz dan kabinetnya sama sekali tidak memiliki rencana kebijakan dan sama sekali… tidak punya pikiran,” kata Soeder dalam pernyataan ke wartawan, dikutip Russia Today (RT)
“Pemerintahan ini telah bangkrut,” ujar pemimpin partai terbesar di Bavaria, Christian Social Union (CSU) itu.
“Pada dasarnya, kita mempunyai pemerintahan yang sedang terguncang,” tambahnya di sela-sela pertemuan partainya di Nuremberg menjelang pemilihan parlemen Uni Eropa (UE).
Menurutnya, strategi pemerintah federal dalam memerangi kenaikan harga energi akibat hilangnya pasokan energi Rusia terlalu fokus ke subsidi. Ia mengatakan diperlukan kebijakan energi yang berbeda.
“Ide subsidi harga listrik saja tidak akan berhasil,” katanya.
“Meminta secara khusus membatalkan penghentian pembangkit listrik tenaga nuklirnya,” tambahnya lagi memberi solusi lain.
“Saat ini, menghapuskan rem harga energi akan menyebabkan tingkat ketidakpastian yang tinggi bagi perekonomian dan menaikkan harga listrik baik bagi masyarakat maupun perusahaan,” jelas Soeder.
Tahun lalu, Jerman dan Uni Eropa menghadapi krisis energi, yang sebagian besar disebabkan oleh hilangnya impor gas Rusia akibat sanksi Ukraina terhadap Moskow. Jerman berhasil mengganti sebagian gas yang sebelumnya dibeli dari Rusia, namun tingginya biaya energi masih melemahkan perekonomian Jerman dan mendorong inflasi.
Jerman mengalami resesi teknis pada kuartal pertama (Q1) tahun 2023. Tapi telah menunjukkan sedikit pemulihan pada dua kuartal berikutnya.