Kepemimpinan dan Keteladanan Jenderal Besar TNI Soedirman

by -168 Views

Jenderal Soedirman lahir pada 24 Januari 1916. Ia adalah seorang guru SD di salah satu sekolah Muhammadiyah di Solo, yang waktu itu bernama Surakarta.
Ketika para pemimpin gerakan Kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penjajah Jepang bahwa mereka harus mengizinkan penduduk asli Indonesia membentuk organisasi militer bela diri, berbagai organisasi militer diselenggarakan di bawah pengawasan ketat Jepang. Di Jawa pasukan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA).
PETA di Jawa diselenggarakan di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupatennya.
Di Purwokerto, dipilih seorang kepala sekolah muda sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah. Ini menunjukkan bagaimana, sebagai kepala sekolah muda, Soedirman sudah dikenal dan disegani karena integritas dan karakternya yang lurus. Pemuda yang lebih muda dengan pendidikan dan reputasi yang menjanjikan dipilih untuk menjadi komandan kompi dan komandan peleton.
Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara para komandan kompi itu ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.
Selama perang, para komandan PETA ini mengambil kepemimpinan batalyon mereka dan berjanji setia kepada Republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Soedirman, sebagai komandan batalyon Purwokerto, segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman penjajahan Belanda.
Setelah merebut Magelang pada akhir tahun 1945, ia tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda. Meskipun Inggris telah merencanakan untuk mundur, unit- unit Soedirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sedemikian rupa sehingga keberangkatan mereka dipercepat.
Dalam persepsi para pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi sosok heroik yang merepresentasikan semangat juang TNI yang garang. Dia dipuji karena mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa melawan mereka. Ini merupakan pukulan telak untuk memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.
Setelah peristiwa di mana Soedirman menjadi terkenal dan dihormati oleh rekan-rekan komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno melalui Menteri Pertahanan mengangkat Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) pertama 5 Oktober 1945.
Urip Sumoharjo adalah perwira KNIL yang paling senior saat itu. Ia dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun para pemimpin semua batalyon Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Soedirman sebagai Panglima. Hal ini disampaikan kepada Presiden Soekarno.
Untuk menjaga persatuan dan perdamaian republik muda, Presiden Soekarno mengubah keputusannya dan Soedirman diangkat Panglima TKR dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer berupa suatu serangan mendadak ke Ibu Kota Republik Indonesia, yang pada waktu itu berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat pelaksanaan perang untuk mempertahankan kemerdekaan menghadapi situasi sedemikian genting, ternyata pemimpin negara dan pimpinan pemerintah telah memutuskan untuk tidak mengadakan perlawanan.
Jenderal Besar TNI Soedirman, Panglima Tentara Nasional Indonesia yang pertama, pada saat itu sedang menderita sakit parah yaitu TBC. Kondisi kesehatan beliau sangat buruk, dan hanya memiliki satu buah paru-paru saja setelah menjalani operasi. Meskipun dalam keadaan sakit, beliau menghadap Presiden dan kemudian menyarankan agar Presiden, Wakil Presiden serta Perdana Menteri untuk bersama-sama dengan beliau untuk ke luar kota dan memimpin perjuangan gerilya.
Namun ternyata Presiden Soekarno memilih tidak ke luar kota untuk bergerilya, dan bahkan Jenderal Besar TNI Soedirman diperintahkan tetap tinggal di kota karena sakit parah yang diderita beliau.
Presiden Soekarno bersama dengan hampir seluruh anggota kabinetnya memilih tidak ke luar kota untuk bergerilya, selanjutnya tidak memberikan perlawanan pada saat ditangkap serta kemudian ditawan oleh musuh.
Jenderal Besar TNI Soedirman memutuskan untuk pergi ke luar Kota Yogya dan melakukan perlawanan dengan cara gerilya melawan musuh (Belanda). Dari tulisan-tulisan sejarah tentang situasi pada saat itu, dapat diketahui betapa besar kekecewaan rakyat dengan berita tertangkapnya Presiden, Wakil Presiden serta Perdana Menteri Indonesia.
Namun dengan adanya perlawanan secara bergerilya yang dilakukan oleh Jenderal Besar TNI Soedirman, moril seluruh bangsa dan TNI menjadi naik kembali.

Jenderal Besar TNI Soedirman, dengan keputusan yang diambil beliau tersebut telah memberikan kepada generasi-generasi TNI berikutnya suatu warisan yang tangguh dan tidak ternilai harganya, yaitu suatu tradisi kepemimpinan yang heroik, penuh kepahlawanan dan keteladanan. Dengan kepedulian dan sikap yang dipilih beliau tersebut, dapat dilihat landasan harga diri dan kebanggaan TNI untuk generasi-generasi pemimpin berikutnya.

Jenderal Besar TNI Soedirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian dan keberanian yang kokoh, pendirian yang teguh serta semangat rela berkorban yang tulus ikhlas. Beliau sadar benar bahwa kemungkinan besar tidak akan dapat pengobatan yang memadai dalam keadaan bergerilya.

Namun beliau memilih jalan yang demikian merugikan pribadinya demi kepentingan perjuangan bangsa dan agar semangat anak buah serta rakyat tidak kendor dan jatuh menghadapi offensive Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana seandainya pada saat itu Jenderal Besar TNI Soedirman ikut tertawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah suatu sikap dan tindakan pemimpin prajurit sejati. Dari situlah lahir tradisi TNI yang tidak kenal menyerah, yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.