Dollar Strong, Indonesian Textile Factory at Risk of Collapse due to Dangerous Bells

by -108 Views

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri saat ini menghadapi tantangan yang serius. Pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi kondisi industri ini.

Menurut data dari Tim Riset CNBC Indonesia yang dikutip dari Refinitiv (Selasa, 23/4/2024), rupiah terus mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Mulai dari 14 Maret hingga 19 April 2024, rupiah melemah dari Rp15.575 per dolar AS menjadi Rp16.250 per dolar AS.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa konflik antara Israel dan Iran tidak langsung berdampak pada Indonesia. Namun, imbasnya terjadi pada nilai tukar dan harga minyak, yang kemudian memberikan tekanan tambahan bagi industri TPT di Tanah Air.

Industri TPT di dalam negeri sedang menghadapi krisis dengan tingkat utilisasi yang sudah di bawah 50%. Hal ini mengancam banyak pekerjaan di sektor ini, dengan gelombang PHK masih mengintai.

Sejak tahun 2022, terjadi gelombang PHK di pabrik TPT nasional karena berbagai faktor, seperti serbuan produk impor, dampak pandemi Covid-19, anjloknya ekspor, perang Rusia-Ukraina, dan lonjakan biaya-biaya. Banyak pabrik telah tutup, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan.

Di tengah kondisi ini, pelemahan rupiah dan pergerakan harga minyak dunia menambah ketidakpastian bagi industri TPT. Wakil Ketua Umum API, Anne Patricia Sutanto, menyebut bahwa industri TPT yang berorientasi ekspor menghadapi tantangan dari permintaan pasar global, bukan hanya dari kurs rupiah.

Saat ini, industri TPT di dalam negeri masih menunggu efek konkret dari ketegangan geopolitik yang terjadi. Mereka diharapkan dapat menghadapi tantangan ini dengan dinamis dan menyesuaikan diri dengan kondisi pasar lokal dan internasional.