Masyarakat Indonesia telah lama mengonsumsi nasi sebagai makanan utama. Kebutuhan akan beras semakin tinggi karena kebiasaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan beras, termasuk dengan meminta China untuk mentransfer teknologi dalam bidang pembibitan padi. Hal ini dilakukan karena China telah sukses mencapai swasembada beras melalui inovasi padi hibrida yang menghasilkan panen dua kali lipat dari biasanya.
Meskipun padi hibrida sukses di China, namun saat diterapkan di Indonesia menemui kendala. Varietas padi hibrida baru muncul di Indonesia 40 tahun setelah ditemukan pada tahun 1960-an. Perkenalan varietas pertama padi hibrida komersial dilakukan pada tahun 2003. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penanaman padi hibrida di luar negeri berhasil, tetapi di Indonesia mengalami kendala.
Beberapa alasan kegagalan padi hibrida di Indonesia antara lain minimnya penyediaan benih, kerentanan terhadap penyakit, harga benih yang mahal, kurangnya keterampilan petani, dan ketidaksesuaian tekstur nasi dengan lidah masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, petani di Bali dan Lombok yang menanam padi hibrida mengaku puas dengan hasilnya yang melonjak dua kali lipat dan keuntungan yang didapat.
Pemerintah terus melakukan upaya pembenahan untuk meningkatkan adopsi padi hibrida di Indonesia. Meskipun masih ada kendala, namun hasilnya telah menunjukkan peningkatan. Kementerian Pertanian pun mengakui bahwa adopsi teknologi padi hibrida masih rendah di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti proses produksi benih padi yang rumit dan harga benih yang mahal. Namun, produktivitas varietas unggul padi hibrida dapat memberikan keunggulan dibandingkan dengan padi inbrida.