Nasib Tragis Pengungsi Myanmar di Hadapan Gelombang Panas

by -111 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Gelombang panas kini menambah penderitaan hidup di kamp-kamp pengungsian di Myanmar, terutama di perbukitan kering di Myanmar timur yang dilanda perang. Para pengungsi kini harus menunggu bantuan air untuk menyambung hidup.
Di bawah atap lembaran plastik di salah satu kamp di negara bagian Kayah, salah satu warga bernama Augusta menunggu 10 galon air yang diperlukan memenuhi kebutuhan minum, memasak, dan mencuci keluarganya selama tiga hari ke depan.
“Tahun lalu, kami mendapat air dari sumber mata air terdekat,” kata Augusta kepada AFP.
“Tetapi sekarang kami tidak bisa mendapatkan air dari tempat itu karena tidak ada lagi air yang tersisa di sana. Kita harus hemat.. Kalau hari ini tidak mandi, mungkin besok kita bisa cuci tangan dan muka.”
Kelangkaan ini menyebabkan dia dan anak-anaknya seringkali tidak dapat mencuci atau membersihkan pakaian mereka dengan baik di tengah panas terik.
“Anak-anak gatal-gatal dan terlihat kotor, kami juga tidak menyediakan pakaian bersih untuk mereka,” ujarnya.
Kini muncul pemandangan sekitar selusin penghuni kamp mengantri di depan truk untuk mendapatkan jatah air yang akan bertahan selama tiga atau empat hari.
Terlihat anak-anak membawa pulang kontainer dengan keranjang di punggung mereka atau dengan troli saat angin panas membawa debu dari jalan tanah.
“[Dulu] saat hanya ada warga biasa yang tinggal di tempat ini, airnya cukup,” kata Zay Yar Tun, dari lembaga amal Clean Yangon. “Tetapi setelah para pengungsi mengungsi ke sini, populasinya terlalu banyak untuk jumlah air yang bisa kita dapatkan di sini.”
Sumbangan air membuat tim Zay Yar Tun dan dua truknya tetap beroperasi, dan mereka melakukan dua pengiriman ke kamp setiap minggunya.
Menemukan sungai atau mata air untuk mengisi truk mereka bisa menjadi hal yang berbahaya di Kayah, yang telah menjadi salah satu titik rawan perlawanan terhadap pemerintahan militer.
Militer secara teratur menyerukan serangan udara dan artileri terhadap lawan-lawannya, dan ranjau darat selalu menjadi bahaya. Sementara mengangkut kargo ke kamp juga sulit.
Bahan bakar yang dibutuhkan tim untuk menjalankan truk dan pompa mereka mahal karena pembatasan impor bahan bakar oleh militer ke Kayah. “Harga bahan bakar sangat mahal, sepertinya kita menukar bahan bakar untuk mendapatkan air,” ujarnya.
Data PBB menyebut lebih dari 123.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di Kayah akibat konflik yang dipicu oleh kudeta militer pada tahun 2021.
Kini, gelombang panas yang menyebabkan suhu di Myanmar mencapai 48 derajat Celcius di beberapa tempat telah menambah ketidakpastian kehidupan di kamp-kamp tersebut.