Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun, kejayaan ekonomi negara Paman Sam ini tidak terlihat dari kesejahteraan warganya.
Hingga saat ini, AS masih harus menghadapi masalah ledakan angka kriminalitas jalanan seperti pencurian dan perampokan. Negara adidaya ini juga harus menangani masalah tunawisma, yang mencapai 650 ribu pada tahun 2023.
Mengutip Capital One, Kamis (13/6/2024), toko-toko di AS kehilangan hingga US$ 121,6 miliar (Rp 1.980 triliun) karena pencurian ritel pada tahun 2023. Data menunjukkan pertumbuhan angka kejahatan ini terus meningkat, dengan perkiraan terbaru dapat merugikan pebisnis lebih dari US$ 150 miliar (Rp 2.443 triliun) pada tahun 2026.
Beberapa pengusaha di AS telah mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap pencurian. CEO Walmart telah memperingatkan bahwa hal ini dapat menyebabkan penutupan toko dan kenaikan harga.
CEO Target mengatakan bahwa hal ini telah menyebabkan kerugian hingga satu miliar dolar bagi rantai tersebut. Sedangkan Kepala Keuangan Home Depot menyebutnya sebagai ‘tekanan konsisten’ yang ‘ditangani setiap hari’ oleh rantai tersebut.
Alasan dari meledaknya pencurian
Ada berbagai alasan mengapa pencurian meledak di AS. Namun, beberapa alasan terkait dengan salah satu masalah besar yang dihadapi Amerika, yaitu tunawisma.
Pada tahun 2023, jumlah tunawisma mencapai 650 ribu jiwa. Mereka terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Philadelphia dan tinggal tanpa sanitasi yang memadai, yang memaksa mereka terkadang buang air kecil dan besar di jalan.
Masalah tunawisma tidak dapat dilepaskan dari aksi pencurian yang terlihat dari profil rata-rata orang yang memilih untuk tinggal di jalanan. Menurut Spring Rescue Mission, beberapa alasan warga AS menjadi tunawisma adalah kemiskinan, masalah mental, keluar dari tahanan polisi, dan kabur dari keluarga dan kerabat.
Untuk bertahan hidup, beberapa tunawisma berusaha melakukan berbagai hal, termasuk pencurian. Bulan lalu, sekelompok tunawisma di Oakland, California, melakukan pencurian terhadap kabel listrik milik pemerintah, sementara kasus pencurian makanan di supermarket telah mengalami peningkatan di Negara Bagian Washington.
Selain pemenuhan kebutuhan, narkoba juga menjadi salah satu faktor dari tingginya tingkat pencurian. Beberapa tunawisma yang mengalami masalah mental terus mencuri untuk membeli barang haram seperti heroin dan kokain.
Mantan tunawisma dan pecandu narkoba, Jared Klickstein, menjelaskan bagaimana ia tinggal di wilayah hotspot tunawisma Los Angeles, Skid Row. Dia mengakui bahwa saat itu dia bekerja ilegal dengan upah hanya sebesar US$ 350, atau setara dengan Rp 5,7 juta hari ini.
Uang ini menurutnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan narkoba. Akibatnya, dia terdorong untuk melakukan pencurian dengan mencuri di toko-toko kecil.
Di sisi lain, alasan lain adalah konsumerisme. Beberapa pencuri melakukan aksi mereka hanya untuk memenuhi gaya hidup mereka dan bukan kebutuhan dasar.
Perang Melawan Pencurian
Dalam kejadian pencurian yang umum, perusahaan tidak mempublikasikan data barang yang dicuri, apalagi yang dicuri dengan cara tertentu. Setiap toko sering kali tidak melaporkan kejadian ini kepada polisi.
Ketidaksigapan bisnis untuk mencatat dan melaporkan barang yang dicuri telah membuat para pelaku kriminal semakin berani. Sebuah video viral menunjukkan seorang pencuri merampas rak sebuah toko swalayan, dengan petugas keamanan hanya merekamnya tanpa mengambil tindakan apa pun.
Hal ini juga dipengaruhi oleh cara negara-negara bagian mengelompokkan pencurian. Beberapa negara bagian bahkan menetapkan batas nilai tertentu untuk menentukan apakah suatu tindakan pencurian merupakan tindak pidana atau tidak.
Menurut Outlook, negara bagian California hanya akan mengategorikan pencurian sebagai tindak pidana jika barang yang dicuri bernilai lebih dari US$ 950 atau sekitar Rp 15 juta. Di bawah nilai itu, pelaku pencurian tidak akan dituntut pidana.
“Factor ini juga telah menyebabkan lemahnya kebijakan penegakan hukum dan menciptakan ledakan secara ekonomi dalam kasus pencurian,” tambah Klickstein.
Ketakutan Besar
Sebagian besar pengecer mengatakan kekhawatiran utama mereka adalah “Kejahatan Ritel Terorganisir” (ORC). Hal ini melibatkan operasi terkoordinasi di mana orang cenderung mencuri dan merampok barang dalam jumlah besar, seringkali melalui toko online.
Selain menyasar toko, geng ORC juga terlibat dalam kegiatan pencurian kargo. Mereka juga melakukan penipuan lain seperti menggunakan kartu kredit curian atau kloning untuk mendapatkan barang, mengubah kode barang untuk membayar harga yang lebih rendah, dan mengembalikan barang curian untuk mendapatkan uang tunai atau hadiah.
Menurut Federasi Ritel Nasional AS, pada 2023, 81% responden melaporkan bahwa pelaku ORC semakin melakukan kekerasan. Dan tahun ini, lebih dari dua pertiga (67%) mengatakan mereka melihat lebih banyak kekerasan dan agresi dari pelaku ORC dibandingkan tahun sebelumnya.
“Meskipun pencurian memiliki dampak yang tidak dapat diabaikan terhadap margin dan profitabilitas pengecer, pengecer sangat prihatin dengan meningkatnya tingkat kekerasan dan ancaman kekerasan yang terkait dengan pencurian dan kejahatan,” ujar asosiasi itu.
Hingga saat ini, Federasi Ritel Nasional AS telah lama meminta Kongres untuk memberikan dana penegakan hukum dan sumber daya lainnya untuk melawan ORC. Tahun lalu, Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Konsumen INFORM yang mewajibkan verifikasi pihak-pihak tertentu dalam perdagangan.
“Selain upaya di Kongres, kami telah bekerjasama dengan anggota parlemen negara bagian, penegak hukum lokal, dan media berita di seluruh negeri untuk menyoroti masalah ORC,” tambahnya.
Arsipkan
Artikel Selanjutnya
Bos JP Morgan: Amerika Sedang Menuju Bencana
(sef/sef)