Membayar Bunga yang Lebih Tinggi daripada Dana Pendidikan yang Dibutuhkan

by -93 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis utang sedang melanda dunia, termasuk negara-negara berkembang atau pasar emergin. Bahkan, masalah ini mendapat perhatian khusus dari Paus Fransiskus saat Pertemuan Vatikan yang diadakan tahun ini dan dihadiri oleh ekonom dan petinggi perbankan dunia.

Dalam pertemuan ‘Krisis Utang di Global Selatan’ pada 5 Juni yang lalu, Paus Fransiskus menyampaikan kepada para bankir dan ekonom bahwa negara-negara termiskin di dunia terbebani oleh utang yang tidak bisa dikelola dan negara-negara kaya perlu berbuat lebih banyak untuk membantu.

Negara-negara berkembang menghadapi tekanan utang publik sebesar US$ 29 triliun. Lima belas negara dalam kategori ini telah menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga daripada untuk pendidikan, menurut laporan terbaru dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB. 46 negara di antaranya telah mengalokasikan lebih banyak uang untuk pembayaran utang daripada untuk anggaran layanan kesehatan.

Krisis utang yang terjadi saat ini merupakan yang terburuk dalam era perekonomian global modern. Utang pemerintah di seluruh dunia telah meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2000.

Beberapa faktor pemicu krisis utang ini antara lain belanja pemerintah yang berlebihan atau tidak tepat, serta fenomena masalah global yang tidak dapat diatasi oleh sebagian besar negara, yang semakin memperparah masalah utang mereka.

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan berhentinya roda bisnis dan penurunan pendapatan pekerja, sementara biaya layanan kesehatan dan bantuan sosial meningkat. Konflik kekerasan di Ukraina dan negara lain turut berkontribusi pada kenaikan harga energi dan pangan. Pada saat yang sama, bank sentral meningkatkan suku bunga untuk mengatasi inflasi yang melonjak, sementara pertumbuhan global melambat.

Paus Fransiskus menghidupkan kembali gagasan Kampanye Yobel untuk tahun 2025 dengan mengusulkan transformasi sistem keuangan global selain program penghapusan utang. Pidato beliau dalam pertemuan Vatikan mencerminkan pengakuan bahwa permasalahan utang saat ini jauh lebih kompleks daripada sebelumnya, terutama karena utang tersebut sebagian besar dipegang oleh sejumlah bank besar dan organisasi pembangunan internasional.

Banyak ekonom dan pembuat kebijakan meyakini bahwa mekanisme dan lembaga yang ada saat ini, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), yang dibentuk 80 tahun lalu untuk menangani negara-negara dalam kesulitan keuangan, tidak lagi efektif dalam menjalankan fungsinya.

Kondisi perselisihan antara China dan Amerika Serikat juga semakin mempersulit penyelesaian krisis utang. Tidak ada lembaga internasional yang memiliki otoritas atas semua pemberi pinjaman, sehingga tidak ada payung hukum yang cukup kuat untuk menyelesaikan perselisihan. Selain itu, pendanaan dari lembaga seperti IMF juga tidak mampu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi global atau mengatasi beban utang.

Para pakar ekonomi dan mantan menteri keuangan dari beberapa negara juga menyampaikan bahwa bantuan IMF kadang-kadang tidak efektif karena menawarkan pinjaman talangan yang berbunga tinggi, yang pada akhirnya menambah beban utang negara peminjam.

Kondisi utang yang semakin memburuk ini mengakibatkan banyak negara terlilit utang tidak memiliki cukup dana untuk membiayai sektor-sektor penting seperti pendidikan, infrastruktur, teknologi, dan layanan kesehatan. IMF memperkirakan sekitar 60% negara berpendapatan rendah berisiko tinggi mengalami kesulitan utang.

Diperlukan triliunan dolar tambahan untuk melindungi negara-negara rentan ini dari dampak cuaca ekstrem dan memungkinkan mereka mencapai tujuan iklim internasional.

Kembali dari Pertemuan Vatikan, Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom Bank Dunia, menyatakan bahwa meskipun telah ada kampanye pengampunan utang Yobel pada tahun 2000, masalah utang masih belum terselesaikan hingga saat ini. Bahkan, kondisinya kini jauh lebih buruk dari yang diperkirakan 25 tahun lalu.

(fs/ fsd)