Jakarta, CNBC Indonesia – Gabungan pengusaha mal nasional meminta pemerintah menunda 2 kebijakan di tengah pelemahan daya beli yang melanda masyarakat kelas menengah-bawah. Kedua kebijakan itu disebut dapat mengganggu daya beli masyarakat.
Kedua kebijakan itu adalah penerapan PPN 12% yang dijadwalkan mulai tahun 2025. Dan, kewajiban ikut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mulai efektif diberlakukan tahun 2027 nanti.
Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja mengatakan, baik Tapera maupun PPN 12% akan memicu efek domino. Tidak hanya kepada pengusaha, tapi juga ke konsumen. Sementara, imbuh dia, saat ini pertumbuhan sektor usaha, termasuk mal, belum optimal.
“Sebetulnya imbauan kami ke pemerintah adalah, saat ini menghindari kebijakan-kebijakan yang berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Saat ada wacana Tapera, sebenarnya kami tidak setuju. Sebaiknya Tapera itu ditunda. Selain peruntukannya belum jelas, juga berpotensi mengganggu daya beli kelas menengah-bawah,” katanya kepada wartawan di Jakarta, dikutip Rabu (31/7/2024).
“Masalah kenaikan PPN jadi 12%, kami berharap pemerintah juga menunda karena kenaikan akan berdampak ke harga jual. Kalau harga jual naik, yang paling berdampak adalah kelas menengah ke bawah. Bagi yang kelas menengah-atas relatif kecil, nggak terasa,” sebutnya.
Dia menuturkan, dampak kedua kebijakan itu akan sangat dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Akibatnya, daya beli terganggu.
“Kalau ini diterapkan semua ini akan membuat situasi semakin tidak sehat,” ujarnya.
“Saya kira ini bukan masalah pro kontra, tapi dampaknya. Kami paham pemerintah perlu penambahan pendapatan negara dari PPN dan sebagainya, tapi saya kira bukan dengan menaikkan tarif,” cetusnya.
Alphonzus pun mencontohkan beberapa daerah yang justru menurunkan pajak-pajak di daerahnya. Ada yang menurunkan pajak wahana permainan anak-pajak hiburan bioskop, yang biasanya 25-30% turun jadi maksimal 10%.
“Ternyata ini meningkatkan transaksi banyak pelaku usaha baru yang berbisnis wahana permainan anak. Sehingga transaksinya justru berlipat. Toh pemerintah bisa menerima lebih dibandingkan menaikkan tarif,” tukasnya.
Foto: Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja. (CNBC Indonesia/Martya)
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja. (CNBC Indonesia/Martya) |
“Saya kira strategi ini harus dilakukan. Kalau tarifnya duluan dinaikkan, kekhawatirannya nanti daya belinya turun. Sebaiknya ditunda, waktunya belum tepat,” kata Alphonzus.
Jika kedua kebijakan itu tetap diberlakukan sesuai jadwal ditetapkan pemerintah, akan berdampak ke pelaku usaha hingga penurunan daya beli.
“Transaksi menurun, penjualan turun, akan membuat lebih sulit lagi pelaku usaha. Tarif PPN kita nggak rendah-rendah sekali dibandingkan negara tetangga. Ini akan mengganggu daya beli masyarakat menengah ke bawah. Karena pertumbuhan sekarang belum optimal. Jadi dorong dulu pertumbuhannya semaksimal mungkin, baru mainkan tarifnya,” pungkasnya.
(dce/dce)
Artikel Selanjutnya
Video: Kelas Menengah RI Wajib Waspada Efek “Ngeri” PPN Naik Jadi 12%