Petani melaporkan sawah kering yang mengakibatkan batal panen, produksi beras Indonesia lenyap.

by -98 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa 51% zona musim (ZOM) di Indonesia saat ini memasuki musim kemarau. Namun, BMKG juga mengeluarkan peringatan dini terkait potensi kekeringan meteorologis yang dapat melanda beberapa wilayah di Indonesia.

Beberapa wilayah bahkan telah menetapkan status siaga darurat kekeringan, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Lalu bagaimana dampak kekeringan terhadap produksi beras nasional?

Ketua Umum Asosiasi Benih & Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, mengatakan berdasarkan laporan petani yang tergabung dalam jaringan AB2TI, kekeringan telah melanda sawah-sawah di beberapa lokasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Misalnya, jaringan petani di Karawang melaporkan adanya sekitar 157 hektar lahan sawah yang terdampak kekeringan. Namun, Dwi Andreas tidak dapat memastikan kontribusinya terhadap luas sawah di Karawang.

“Dari laporan yang ada, sawah-sawah tadah hujan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah mengalami kekeringan. Di Jawa Timur, kemungkinan akan terjadi penurunan produksi sebesar 10-30%. Jawa Barat hampir sama, seperti laporan dari Indramayu dan Karawang yang mengalami kekeringan,” kata Dwi Andreas kepada CNBC Indonesia.

“Bagi yang tidak menggunakan tadah hujan, tergantung pada ketersediaan air. Sungai-sungai mulai mengering, petani kesulitan memanfaatkan pengairan dari sungai. Di Jawa Tengah, contohnya, tanaman padi dibabat dan dijadikan pakan ternak,” tambahnya.

Menurut Dwi Andreas, saat ini tanaman padi berada dalam berbagai fase pertumbuhan. Ada yang sudah beberapa minggu, ada yang sudah sebulan. Akibat kekeringan, tanaman padi tersebut kemudian dibabat habis.

“Dari perhitungan saya, hingga akhir tahun ini akan terjadi penurunan produksi sebesar 6-6,5%. Jika 6% saja menurun, itu setara dengan sekitar 1,8 juta ton beras, hampir 2 juta ton,” kata Dwi Andreas.

Terkait dengan potensi La Nina yang akan mempengaruhi Indonesia pada puncak musim kemarau, Dwi Andreas menyatakan bahwa hal tersebut tidak akan berdampak bagi lahan sawah di Jawa. Meskipun La Nina kali ini diharapkan dapat membuat musim kemarau basah, karena adanya peningkatan hujan akibat La Nina.

“Di Jawa tidak akan ada dampaknya La Nina. Mungkin dampaknya akan terjadi di luar Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan,” ucap Dwi Andreas.

BMKG telah secara resmi menyatakan bahwa fenomena El Nino telah berakhir dan indeks ENSO berada dalam kondisi Netral. Selanjutnya, BMKG memperkirakan bahwa kondisi Netral ENSO berpotensi menuju La Nina mulai dari bulan Agustus 2024. Perkiraan ini sejalan dengan proyeksi dari beberapa pusat iklim dunia.

Meskipun BMKG belum secara resmi memastikan apakah Indonesia telah memasuki fase La Nina atau tidak, ketika La Nina terjadi, angin pasat dari Pasifik Timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Ini memiliki dampak seperti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis bagi Indonesia.

“Dilihat nanti. Jika La Nina lemah, maka tidak akan ada dampak. Namun, jika La Nina kuat, akan berdampak,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto.

[Link Video: El Nino Berlalu Terbitlah La Nina, Apa Efeknya ke Indonesia?](https://cnbcindonesia.com/news/20240803120712-8-560118/video-el-nino-berlalu-terbitlah-la-nina-apa-efeknya-ke-indonesia)