Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Xi Jinping di China pada Minggu, 31 Maret 2024.
Jakarta, CNBC Indonesia – China berpotensi mengalami perlambatan ekonomi, dipicu oleh tingkat konsumsi domestik yang tertekan. Namun, di sisi lain, produksi manufakturnya akan terus membanjiri pasar-pasar negara lain, termasuk Indonesia, karena barang industrinya tak terserap oleh masyarakatnya sendiri.
Ekonom Senior yang merupakan mantan Direktur Eksekutif Bank Dunia (World Bank) Mari Elka Pangestu mengatakan, ekonomi kedua terbesar dunia setelah Amerika Serikat itu akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, dari 2023 bergerak di atas 5% menjadi ke level bawah 5% pada 2024.
“Untuk 2024 perkiraannya pertumbuhannya akan di bawah 5%, dan kuartal ke-2 pertumbuhannya itu 4,7%, sehingga memang tanda-tanda melemahnya itu cukup kuat, terutama didorong oleh melemahnya konsumsi,” kata Mari Elka dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, Rabu (14/08/2024).
Perkiraan Mari Elka ini sebetulnya searah dengan prediksi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang turut memperkirakan PDB China pada 2025 masih akan terus melambat menjadi 4,5%, dan akan terus melambat dalam jangka menengah menjadi 3,3% pada 2029.
“Konsumsi dalam negerinya itu yang sangat lemah. Terkait dengan sektor properti yang masih belum bisa diperbaiki dan juga kelihatannya consumer confidence belum kembali sejak Covid-19 dan seterusnya,” ujar Mari Elka.
Masalahnya, Mari Elka menekankan, di tengah melambatnya perekonomian China, pemerintahnya menggunakan strategi untuk terus menggeliatkan aktivitas industri manufakturnya. Dengan cara mendorong sektor jasa keuangan mengucurkan dana ke sektor itu, tidak lagi ke sektor properti yang selama ini dianggap menjadi motor utama pertumbuhan.
“Termasuk untuk tujuan mereka meningkatkan investasi di sektor teknologi. Namun apa yang terjadi adalah apa yang sering diistilahkan sebagai overcapacity. Apa yang terjadi adalah karena di dalam negeri permintaannya lemah, banyak ekspor keluar,” ungkap Mari Elka.
Akibatnya barang-barang produksi industri berpotensi membanjiri pasar negara-negara mitra dagang utamanya, seperti Amerika Serikat, negara di kawasan ASEAN, hingga Indonesia. Sebab, saat permintaan di dalam negerinya lemah, maka opsi yang mereka pilih ialah ekspor.
Neraca perdagangan Indonesia sendiri telah defisit US$ 1,7 miliar dengan China per Juli 2024. China pun menjadi negara dengan porsi impor terbesar bagi Indonesia sebesar 35% dari total barang impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai US$ 38,97 miliar.
“Ekspor inilah yang membanjiri berbagai negara dan di respons oleh berbagai negara, Amerika, Eropa, terhadap electric vehicle dan barang-barang lain di Indonesia dan negara ASEAN yang lain,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Mari Elka menekankan pentingnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melindungi pasar dalam negeri, baik dalam bentuk bea masuk anti dumping yang tinggi hingga Bea Masuk Tindakan Pengamanan. Namun, ia menekankan, kebijakan ini harus didasari investigasi yang konkret menggambarkan bahwa produk China dijual di bawah harga pasaran dalam negeri.
“Tentunya kita tidak bisa semena-mena mengatakan oh dikenakan 200% tarif, harus ada investigasi. Mungkin saja itu di atas 100% kalau kita lihat apa yang terjadi, tapi ini perlu ada proses. Jadi ini kita perlu menjaga dari impor yang jumlahnya masuk dalam jumlah besar maupun dengan harga yang tidak wajar,” tutur mantan menteri perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
(arm/haa)