Kisah Sedih Warga Gaza yang Tak Berganti Pakaian Berbulan-Bulan

by -43 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Kebutuhan sandang semakin sulit bagi 2,4 juta warga Gaza, Palestina yang tinggal di wilayah yang dikepung Israel. Sejak terjadi serangan pada 7 Oktober, Gaza yang punya industri tekstil dengan perkembangan pesat itu kini tinggal cerita.

mengutip AFP, salah satu dari ribuan warga Palestina yang mengungsi dari Kota Gaza, Safaa Yassin, mendandani anaknya dengan bodysuit putih yang sama selama berbulan-bulan. Ini menjadi pemandangan lumrah di Jalur Gaza, yang telah hancur akibat perang selama 10 bulan.

“Saat saya hamil, saya bermimpi mendandani putri saya dengan pakaian yang indah. Saat ini, saya tidak punya apa-apa untuk dikenakan padanya,” kata Yassin, dikutip Minggu (18/8/2024).

Pengungsi lainnya, yang kini tinggal di Al-Mawasi, wilayah pesisir yang ditetapkan sebagai zona kemanusiaan oleh pasukan Israel, mengaku tidak menyangka bahwa suatu hari nanti tak mampu memenuhi kebutuhan sandang anak-anaknya.

“Tetapi beberapa pakaian yang saya temukan sebelum mengungsi ke selatan ukurannya salah atau tidak sesuai dengan musim,” tambahnya, saat Gaza terpanggang di musim panas dengan suhu lebih dari 30 derajat Celcius (86 Fahrenheit) setiap hari.

Faten Juda juga kesulitan mendandani putranya yang berusia 15 bulan, Adam. Faten hanya mampu mendandani putranya dengan piyama kekecilan, sedangkan lengan dan kakinya yang telanjang menonjol dari pakaian ketat itu.

“Dia tumbuh setiap hari dan pakaiannya tidak muat lagi, tapi saya tidak bisa menemukan pakaian lain,” kata pria berusia 30 tahun itu.

Anak-anak bukan satu-satunya yang menderita karena kekurangan pakaian di Jalur Gaza, yang memiliki 900 pabrik tekstil pada masa kejayaan industri ini di awal 1990-an. Sektor ini mempekerjakan 35.000 orang dan mengirim empat juta barang ke Israel setiap bulannya.

Namun jumlah tersebut menurun sejak 2007, ketika Hamas mengambil alih kekuasaan dan Israel memblokade Gaza.

Tak hanya itu, dalam beberapa tahun terakhir, bengkel di Gaza menyusut menjadi sekitar 100 bengkel, mempekerjakan sekitar 4.000 orang dan mengirimkan sekitar 30.000-40.000 barang setiap bulannya ke Israel dan Tepi Barat yang diduduki Israel.

Pada Januari, tiga bulan setelah perang, Bank Dunia memperkirakan bahwa 79% perusahaan sektor swasta di Gaza telah hancur sebagian atau seluruhnya. Bahkan pabrik-pabrik yang masih berdiri pun sempat terhenti, setelah berbulan-bulan tanpa listrik di Gaza.

Bahan bakar apa pun yang masuk ke generator terutama digunakan untuk rumah sakit dan fasilitas PBB seperti gudang dan titik pasokan bantuan.

Dalam kondisi seperti ini, mencari baju baru merupakan peristiwa yang jarang terjadi.

“Beberapa perempuan telah mengenakan jilbab yang sama selama 10 bulan terakhir,” kata Philippe Lazzarini, kepala UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina, dalam postingannya di media sosial X.

Lain lagi dengan Ahmed al-Masri, yang meninggalkan rumahnya di utara Gaza pada awal perang. Saat ini di Khan Yunis, di selatan, dia mengatakan dia tidak punya sepatu atau pakaian ganti.

“Sepatu saya rusak. Saya sudah memperbaikinya sedikitnya 30 kali, dan setiap kali perbaikan harus dibayar 10 kali lipat dibandingkan sebelum perang,” katanya.

Dengan dua pertiga penduduk Gaza hidup dalam kemiskinan bahkan sebelum perang, banyak orang terpaksa menjual pakaian mereka setelah konflik pecah dan semakin memperburuk perekonomian.

Pengungsi lainnya yakni Abu Hashem (25) meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa sehingga dia tidak dapat membawa apa pun. Dia telah memakai sepasang sepatu yang sama selama lima bulan, tapi hanya dua hari sekali.

“Saya berbagi sepatu dengan saudara ipar saya,” jelasnya.

Pada hari-hari ketika dia bertelanjang kaki, dia takut akan hal terburuk terjadi karena berjalan di sekitar sampah dan puing-puing yang membawa segala jenis penyakit dan kontaminasi.

Sedangkan Ahmed al-Masri mengaku hanya ingin sabun untuk mencuci satu-satunya kaus dan celana panjangnya.

“Saya sudah memakai pakaian yang sama selama sembilan bulan. Saya tidak punya apa-apa lagi. Saya segera mencuci kaos saya dan menunggu sampai kering. Dan semua ini, tanpa sabun atau deterjen,” ujar dia.

(pgr/pgr)