CSIS Menganjurkan Opsi Berat karena Anggaran Prabowo Terbatas

by -40 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Centre of Strategic and International Studies (CSIS) menilai ruang fiskal untuk pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka teramat sempit untuk menjalankan program-program unggulannya tahun depan. Lembaga tersebut menyarankan Prabowo-Gibran untuk melakukan efisiensi subsidi dan kompensasi energi, guna menjadi pembiayaan selain utang.

Peneliti CSIS, Ardhi Wardhana mengatakan anggaran pemerintah untuk biaya subsidi dan kompensasi terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2022 saja, kata dia, jumlah anggaran untuk subsidi mencapai lebih dari Rp 350 triliun.

Dia mengatakan anggaran untuk subsidi dan kompensasi itu akan terus meningkat di masa depan. Ardhi mencontohkan dalam RAPBN 2025 jumlah anggaran untuk subsidi dan kompensasi telah mencapai Rp 525 triliun.

“Faktanya di RAPBN 2025 anggaran subsidi itu meningkat,” kata Ardhi dalam diskusi yang diselenggarakan di kantornya, Jakarta, Senin, (19/8/2024).

Ardhi menilai subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah itu memang membantu masyarakat. Namun, kekurangan dari pemberian subsidi dan kompensasi ini juga banyak.

Dia mencontohkan subsidi dan kompensasi amat volatil sebagai dampak dari naik turunnya harga minyak dan nilai tukar rupiah. Selain itu, kata dia, pemberian subsidi energi seperti BBM dan LPG 3 kilogram sering salah sasaran. “Bukan hanya mahal tapi juga tidak tepat sasaran,” kata dia.

Karena itu, dia menilai anggaran untuk subsidi itu perlu dikaji ulang dan direformasi. CSIS dalam risetnya membuat 3 skenario kompensasi BBM. Skenario efisiensi, ternyata bisa membuat negara berhemat sampai hampir Rp 100 triliun.

“Kami coba lakukan 3 skenario, yaitu business as usual, lalu skenario kedua dynamic pricing dan ketiga increasing administrated price,” katanya.

Ardhi menjelaskan skenario pertama dilakukan tanpa adanya perubahan kebijakan apapun. Sementara, skenario kedua yakni dynamic pricing dilakukan dengan cara pemerintah hanya memberikan subsidi sebesar Rp 3.000/liter untuk Pertalite dan Rp 1.000/liter untuk solar.

Adapun pada strategi ketiga harga Pertalite dan solar dinaikkan 10% tiap tahun. Ardhi mengatakan penghematan yang terjadi pada skenario 2 dan 3 hasilnya lumayan.

Dia mengklaim pada 2025 saja, penerapan kebijakan dynamic pricing dan increasing administrated price mampu menghemat anggaran antara Rp 85,62 triliun sampai Rp 91,04 triliun. Pada 2026, realokasi subsidi BBM ini mampu menambah anggaran negara sebesar Rp 127,02 triliun dan Rp 130,33 triliun. Dia mengklaim anggaran tersebut bisa naik kembali dari tahun ke tahun.

“Jadi ada tambahan ruang fiskal Rp 85 hingga Rp 91 triliun, ini belum termasuk LPG dan listrik,” kata dia.

Sebelumnya, pemerintah Presiden Joko Widodo baru saja menyerahkan Rancangan UU APBN 2025 ke DPR. Rancangan UU ini kelak akan menjadi APBN tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Dalam RAPBN tersebut pemerintah mematok belanja negara mencapai Rp 3.613,1 triliun. Adapun angka defisit dipatok mencapai 2,53%.

Di lain sisi, Prabowo-Gibran memiliki program-program yang dinilai akan memakan banyak anggaran, seperti Makan Bergizi Gratis dan melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Mengingat besarnya kebutuhan anggaran itu, muncul pertanyaan dari mana uangnya.

Peneliti senior CSIS Deni Friawan menilai efisiensi subsidi dapat menjadi alternatif ketika pemerintah Prabowo-Subianto tak punya banyak pilihan untuk meningkatkan penerimaan negara. Dia mengklaim efisiensi subsidi dan kompensasi juga lebih baik daripada pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.

“Dengan kondisi daya beli yang lemah saat ini ketika ada kenaikan PPN itu akan berdampak lebih parah pada perekonomian,” kata dia.

Dia menilai kenaikan PPN 12% berdampak lebih luas karena akan mengenai seluruh golongan masyarakat. “Menurut kami perlu di-review kembali karena adanya kondisi daya beli masyarakat yang melemah,” kata dia.

Deni menilai pemangkasan subsidi memang berpotensi menyebabkan inflasi. Namun, kata dia, dampak dari kenaikan BBM biasanya hanya terasa dalam tempo 2 sampai 3 bulan. Setelahnya, masyarakat dapat menyesuaikan pengeluarannya terhadap harga-harga baru.

“Kita perlu ingat subsidi akan berdampak pada inflasi, tapi ini diperlukan untuk menjaga defisit dan kebutuhan lainnya,” kata dia.