Bali, CNBC Indonesia – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) angkat bicara terkait permasalahan tenaga kerja di Indonesia. Ini mengingat, penduduk usia muda yang menganggur (not in education, employment, and training/NEET) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati mengatakan, saat pandemi Covid-19 dan pasca pandemi harus diakui bahwa angka NEET di Indonesia mengalami kenaikan.
“Artinya bahwa jumlah mereka yang lulus belum tentu bekerja. Bukan selalu berarti lapangan pekerjaan yang tidak ada tetapi bisa jadi tidak match lapangan pekerjaan yang ada ataupun juga skill yang dibutuhkannya tidak sesuai,” ujar dia dalam Special Interview bersama CNBC Indonesia di Bali International Convention Centre (BICC), Nusa Dua, Minggu (1/9/2024).
Melihat kondisi tersebut, Pemerintah mengupayakan up-skilling maupun re-skilling untuk mereka yang hilang pekerjaan dan mencari pekerjaan yang berbeda pada saat pandemi Covid-19 melalui Program Kartu Prakerja. Terbukti, program-program seperti up-skilling dan juga re-skilling itu sangat bermanfaat.
“Selain itu, ini generasi milennial yang sudah lulus dan juga gen Z sebagian kita tahu agak pemilih, jadi kita menyebutnya generasi strawberry di mana kelihatannya bagus tetapi lemah. Lemah itu dalam arti salah satunya agak milih-milih untuk pekerjaan misalnya bekerja di luar Jawa, di tambang, di perikanan. Mungkin hal seperti itu yang akhirnya angka net kita kemarin sempat meningkat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Pemerintah juga melakukan pendekatan bagi generasi tersebut lewat digitalisasi karena hampir seluruh kehidupannya tidak lepas dari yang namanya internet.
“Jadi lapangan pekerjaan yang sudah beradaptasi setelah Covid ini menggunakan digitalisasi tentunya menjadi bagian yang bisa attracting lapangan pekerjaan baru. Kemudian juga timbulnya pekerjaan yang ke arah hijau,” ungkap dia.
Tak ketinggalan, ekonomi inklusif turut mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Ekonomi inklusif mendorong pertumbuhan berbagai sektor, termasuk UMKM, ekonomi kreatif, dan sektor informal. Sektor-sektor ini memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja baru, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan seperti perempuan, pemuda, dan masyarakat di daerah pedesaan.
Selain itu, ekonomi inklusif tidak hanya fokus pada kuantitas lapangan kerja, tetapi juga pada kualitasnya. Melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan, ekonomi inklusif membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan membuka peluang untuk pekerjaan yang lebih baik.
Tujuan penerapan ekonomi inklusif adalah berusaha mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, serta antara perkotaan dan pedesaan. Dengan demikian, lebih banyak orang memiliki akses ke sumber daya dan peluang ekonomi, termasuk kesempatan kerja yang layak.
Ekonomi inklusif pun mendorong pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, pemanfaatan teknologi ini harus dilakukan secara inklusif, sehingga tidak memperlebar kesenjangan digital.
(wur)