Pemerintah berencana untuk mengeluarkan aturan baru untuk industri tembakau melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024. Namun, aturan tersebut menuai protes di kalangan pengusaha rokok.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachyudi mengatakan bahwa isi dalam beleid tersebut mempersempit ruang gerak perusahaan rokok dalam bersaing karena mengatur standardisasi pengemasan, dengan kemasan rokok menjadi polos tanpa logo merek.
Benny menjelaskan bahwa selama ini industri hasil tembakau (IHT) memberikan banyak keuntungan bagi negara hingga berkontribusi luas kepada masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja. Namun, dengan adanya aturan PP nomor 28, akan dilakukan standardisasi pengemasan mulai dari warna, font, tidak boleh ada gambar, dan sebagainya.
Ini akan membuat kemasan rokok dari berbagai merek menjadi sama, yang menurut Benny sangat membahayakan bagi kelangsungan usaha karena tidak dapat bersaing dan memperlihatkan keunggulan produk.
Selain itu, dengan adanya kemasan polos ini, maka identitas rokok legal akan hilang, sehingga nyaris serupa dengan rokok ilegal yang tidak memerlukan desain khusus sebagai ciri khas suatu produk.
Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta juga menyatakan bahwa dalam beleid tersebut juga merubah batasan usia segmen konsumen dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Selain itu, aturan tersebut mengatur jarak minimal penjualan rokok, namun hal ini menimbulkan dilema karena perkembangan perumahan saat ini sudah berubah dengan adanya hunian vertikal seperti apartemen.
Dengan demikian, pengusaha rokok dan peritel menyampaikan keberatan mereka terhadap aturan tersebut yang dianggap dapat menyulitkan dan merugikan bagi industri rokok.