Moskow – Rusia bersiap menghadapi pengepungan dari kekuatan lawan dengan merilis revisi doktrin nuklir baru. Di mana Moskow menurunkan ambang batas keterlibatan nuklir negaranya.
Sebelumnya, revisi aturan yang diinisiasi oleh Presiden Vladimir Putin, menyatakan serangan terhadap Rusia dengan “partisipasi atau dukungan dari kekuatan nuklir” akan dianggap sebagai “serangan bersama mereka terhadap Federasi Rusia”, sebagai tanggapan atas kemungkinan Ukraina menyerang target jauh di wilayah Rusia dengan senjata jarak jauh yang disediakan oleh sekutu Barat.
Alexey Malinin, pendiri Pusat Interaksi dan Kerja Sama Internasional yang berkantor pusat di Moskow, mengatakan bahwa Rusia tidak berkeinginan untuk menggunakan senjata nuklir karena sadar akan implikasi yang serius dari konflik yang melibatkan senjata semacam itu.
“Namun, saat ini, negara kita dipaksa untuk merespons ancaman yang semakin membesar yang mengarah kepada kita. Barat terus memasok Ukraina dengan senjata, termasuk jet tempur F-16 dan rudal jarak jauh seperti ATACMS (buatan AS),” ujarnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (13/10/2024).
Selain itu, NATO sedang memperluas infrastruktur di sekitar perbatasan Rusia: unit-unit baru sedang dibangun di Finlandia,” tambahnya.
Menurutnya, meskipun Rusia berupaya menghindari penggunaan senjata nuklir, Moskow “dipaksa untuk menunjukkan” bahwa mereka siap untuk mempertahankan “integritas dan kedaulatan” dengan segala cara yang diperlukan.
Namun, kritikus Kremlin khawatir bahwa Putin semakin mendekati. Jika bukan kiamat nuklir, setidaknya bencana kemanusiaan regional.
“Uni Soviet pernah mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menyerang lebih dulu… Sekarang Putin mengatakan bahwa mereka akan menyerang kapanpun mereka mau,” tulis politikus pengasingan Leonid Gozman di surat kabar Novaya Gazeta.
Dia menegaskan bahwa Putin tidak memiliki hambatan moral untuk menggunakan senjata nuklir, dengan pemahaman bahwa itu adalah langkah menuju penghancuran planet yang sebelumnya dimiliki oleh pemimpin Soviet Nikita Khrushchev dan Leonid Brezhnev.
Selama Perang Dingin, baik Washington maupun Moskow beroperasi berdasarkan prinsip saling menghancurkan, di mana serangan nuklir dari satu pihak akan memicu respons yang sama, yang bisa berujung pada pertikaian atom habis-habisan dan kehancuran massal dalam skala global.
Namun, Putin memperingatkan bahwa Rusia akan menggunakan senjata nuklir sebagai respons terhadap “ancaman kritis terhadap kedaulatan kita”. Ancaman ini tidak hanya merujuk pada serangan nuklir, tetapi juga serangan konvensional.
Sebagai informasi, Amerika Serikat, sekutu terpenting Ukraina, merupakan kekuatan nuklir terbesar kedua di dunia, dengan 5.224 hulu ledak dibandingkan dengan 5.889 milik Rusia.
Baru-baru ini, Washington memberikan lampu hijau untuk bantuan tambahan bagi Ukraina, tetapi izin untuk menggunakan senjata yang dipasok AS belum melampaui apa yang telah disetujui sebelumnya.