Aliansi militer Barat, NATO, mulai dilanda kecurigaan di antara sekutunya terkait penutupan pembagian informasi intelijen. Kecurigaan ini muncul setelah adanya ketidakpercayaan antara negara tradisional Barat dan negara-negara pendatang baru dari Timur bekas komunis, terutama setelah serangan Rusia terhadap Ukraina yang membuat negara-negara pro-Rusia dianggap tidak dapat diandalkan. Ketegangan di aliansi ini semakin meruncing khususnya dalam dinamika hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Ketidakpastian seputar keandalan AS semakin meningkat ketika AS dilaporkan untuk sementara waktu menghentikan pembagian informasi intelijen dengan Ukraina demi mendukung negosiasi dengan Rusia. Muncul kekhawatiran di NATO terkait risiko pembagian informasi intelijen dengan AS, terutama setelah Trump memilih Tulsi Gabbard sebagai direktur intelijen nasional yang memiliki kecenderungan yang lebih dekat dengan Rusia dan sekutunya.
Pembagian informasi intelijen di antara anggota NATO tidak sekuat sekutu Five Eyes dan seringkali tidak sedekat dalam pertukaran informasi. Kekhawatiran akan kebocoran dan kecurigaan bahwa badan intelijen nasional dapat ditembus oleh Rusia menjadi alasan utama mengapa pembagian informasi intelijen tidak selalu intensif di aliansi ini. Relevansi pembagian informasi intelijen dalam transatlantik NATO dipertanyakan, terutama setelah pergolakan politik di AS yang mengganggu hubungan dengan sekutu-sekutunya. Masa depan kerja sama intelijen di NATO masih menjadi pertanyaan serius yang perlu dijawab untuk memperkuat keandalan aliansi.