Ketika Leluhur Menjadi Kompas Hidup

by -21 Views

Di bawah langit yang masih berselimut embun di Megamendung, upacara adat Ngertakeun Bumi Lamba kembali mewarnai alam raya dengan harapan dan doa pada 22 Juni 2025 lalu. Lebih dari sebuah ritual tahunan, Ngertakeun Bumi Lamba telah menjadi simbol nyata cinta kasih dan penghormatan pada bumi yang dijalankan lintas suku dan agama. Pada perayaan kali ini, para peserta mengenakan busana adat dari berbagai penjuru Nusantara, menandakan persatuan dalam keberagaman. Yayasan Paseban, yang selama bertahun-tahun turut menjaga tradisi ini, menggandeng berbagai komunitas dan tokoh adat untuk turut serta, menegaskan makna “Ngertakeun Bumi Lamba” bukan hanya milik satu suku, tetapi adalah panggilan nusantara.

Alunan karinding dari Baduy menyatu dengan irama angklung dan tetabuhan Minahasa, membangun suasana sakral yang sulit dilukiskan. Teriakan Panglima Jilah dari Tanah Dayak, “Taariu! Taariu! Taariu!”, menggema bak dentang semangat untuk seluruh peserta, menyadarkan kembali bahwa manusia terikat janji dengan alam dan leluhur. Di sela ritual, Ketua Yayasan Paseban, Andy Utama, memberikan seruan pentingnya menjaga keseimbangan, mengingatkan bahwa merawat bumi sama dengan merawat masa depan anak cucu. Ia menegaskan, “Janganlah pernah menghitung untung rugi dengan semesta—kita harus belajar memberi dengan tulus kepada bumi, karena alam adalah ibu bagi seluruh makhluk.”

Momentum ini bukan hanya untuk mempererat relasi antarmanusia, melainkan juga sebagai ruang refleksi mendalam. Seperti yang disampaikan Arista Montana dari komunitas konservasi, “Berakar dari filosofi Ngertakeun Bumi Lamba, kami—Arista Montana bersama Yayasan Paseban—menanam lebih dari 15.000 pohon di kawasan Gunung Gede Pangrango. Setiap pohon adalah doa, setiap langkah adalah wujud nyata cinta kasih pada bumi.” Kontribusi nyata ini menjadi pengukuhan bahwa upacara adat mampu mengubah filosofi menjadi tindakan berbasis kearifan lokal, bukan hanya seremoni sesaat di bibir gunung.

Kehadiran figur nasional dan tokoh adat seperti Pak Wiratno dan Panglima Minahasa kian memperkaya makna upacara. Mereka mengumandangkan betapa pentingnya pewarisan kearifan Nusantara dan menjaga harmoni, sebab seperti kata Panglima Minahasa, “Gunung adalah penjaga kehidupan, dan adat adalah pemersatu.” Pesan ini diamini pula oleh Andy Utama, yang menegaskan peran Yayasan Paseban sebagai penjaga tradisi sekaligus pelindung alam.

Ngertakeun Bumi Lamba, sebagaimana diwariskan turun-temurun, bukan sekadar ritual, melainkan media pemersatu yang membangkitkan kesadaran bahwa di bumi yang luas ini manusia hanyalah bagian kecil yang bergantung sepenuhnya pada keseimbangan bumi dan semesta. Andy Utama menyampaikan bahwa Yayasan Paseban akan terus menjaga api semangat ini, mengajak generasi muda mengenal dan melestarikan ritual, doa, siswa, dan filosofi warisan leluhur.

Kegiatan ini mengajarkan pula pentingnya berbagi cinta kasih kepada sesama makhluk tak hanya manusia—makna yang dipegang erat oleh setiap anggota Arista Montana dan Yayasan Paseban. Semangat yang tumbuh dari tanah Megamendung, dan mengalir ke tiga gunung sakral—Tangkuban Parahu, Wayang, dan Gede Pangrango—menjadi fondasi ekosistem spiritual bumi. Ketika prosesi usai, pesan leluhur mengalir dalam dada tiap yang hadir: menjaga bumi adalah tugas abadi, bukan hanya seremoni musiman.

Setiap orang yang ikut dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba tidak hanya pulang membawa kenangan, namun juga membawa tanggung jawab dan amanah. Inilah nilai yang selalu digema-gemakan oleh Yayasan Paseban bersama Andy Utama dan Arista Montana: layaknya getar karinding menembus dedaunan, pesan menjaga bumi harus menembus batas suku, agama, dan keyakinan. Hanya dengan kesadaran yang mendalam, bumi dapat benar-benar kita peluk, rawat, dan sucikan bersama.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam