Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memasang target realisasi investasi yang cukup tinggi pada 2024. Targetnya sebesar Rp 1.650 triliun, naik dari target 2023 sebesar Rp 1.400 triliun.
Namun, target itu jauh di atas Rencana Strategis (Renstra) BKPM 2020-2024. Dalam Renstra yang disusun tiap lima tahunan oleh Kementerian Investasi/BKPM, target investasi 2023 hanya sebesar Rp 1.099,8 triliun, dan pada 2024 menjadi Rp 1.239,3 triliun.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengaku optimis target tahun ini akan segera terealisasi. Pasalnya, realisasi investasi per kuartal III-2023 telah mencapai Rp 1.053,1 triliun, atau 95,7% dari target renstra dan 75,2% dari target Presiden Joko Widodo.
“Saya kalau enggak Rp 1.400 triliun, saya enggak jadi menteri lah,” kata Bahlil saat ditemui di Balai Kartini Jakarta beberapa waktu lalu, dikutip Kamis (21/12/2023).
Bahlil mengungkapkan, capaian arus investasi sepanjang tahun ini pun masih akan didominasi oleh penyertaan modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) dengan porsinya sebesar 50%.
Dari total realisasi investasi per kuartal III-2023, memang porsi PMA yang masuk mendominasi dengan nilai mencapai Rp 559,6 triliun atau setara 53,1% dari total realisasi investasi, sedangkan PMDN senilai Rp 493,5 triliun atau 46,9%.
“Ini mungkin dalam sejarah bangsa kita bahwa sekalipun kita masuk tahun politik tapi global menaruh perhatian dan menaruh kepercayaan luar biasa ditandai dengan realisasi investasi,” ungkap Bahlil.
Adapun, lima sektor yang menjadi tujuan investasi, baik asing dan dalam negeri yaitu Industri Logam Dasar, Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya Rp 56,9 triliun; Pertambangan Rp 41,9 triliun; Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi Rp 40,9 triliun; Industri Kimia dan Farmasi Rp 28,7 triliun; dan Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran Rp 25,5 triliun.
Kendati begitu, Bahlil mengakui upaya untuk merealisasikan target investasi yang telah dicanangkan Presiden Jokowi bukan perkara mudah. Terutama karena semakin memburuknya kondisi perekonomian global yang tentu juga mempengaruhi sentimen investor.
Permasalahan yang mengganggu arus investasi khususnya FDI itu kata Bahlil mulai dari Perang Ukraina dan Rusia yang belum berakhir, ditambah perpecahan ketegangan geopolitik di Timur Tengah, antara Israel dan Palestina. Di sisi lain, Indonesia betul-betul memasuki tahun politik pada 2024.
“Apalagi di negara kita, di domestik, terjadi Pemilu, yang Pemilu ini juga keunikan dan punya problem spesifik tersendiri. Sekarang ada 3 calon,” ucap Bahlil.
Bahlil pun belum mau mengungkapkan strategi apa yang akan ditempuh untuk mendulang investasi di tahun politik dan suramnya prospek ekonomi global. Ia hanya mengharapkan tensi politik tidak terlalu panas supaya kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia tetap terjaga.
“Makanya tahun depan kita lagi merancang. Tapi feeling saya selama politik kita tidak terlalu panas, begini-begini terus ya, hangat-hangat, Insyaallah kita dapat melalui dengan baik,” tegasnya.
Risiko Tahun Politik
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyatakan hal serupa. Menurutnya, salah satu faktor risiko terbesar bagi arus investasi pada tahun depan ialah masa Pemilu serentak, baik untuk capres, caleg, hingga Pilkada.
“Bukti empiris dari berbagai penelitian menunjukkan tahun politik punya kecenderungan menahan laju investasi meski tumbuh tetap ada tapi lebih lambat dibanding periode sebelum tahun politik itu muncul, jadi saya kira itu menjadi tantangan,” kata dia dalam program Closing Bell CNBC Indonesia.
Yusuf menekankan, mesti tantangannya berat, potensi untuk tercapainya target investasi itu tetap ada, mengingat kinerja investasi dua tahun ke belakang juga sangat impresif, bahkan saat 2022 tatkala pandemi masih merebak realisasi investasi mencetak rekor terbesar dalam sejarah, yaitu Rp 1.207,2 triliun.
“Investor juga punya kecenderungan melihat prospek ekonomi Indonesia jangka relatif panjang karena investasi, FDI khususnya masuk ke hilirisasi yang periodenya tentu jangka menengah hingga panjang. Ini bisa jadi modal menatap realisasi investasi 2024,” kata Yusuf.
Meski realisasi investasi terus tercapai, Mantan Menteri Keuangan yang juga merupakan ekonom senior Indonesia Chatib Basri mengingatkan bahwa nilai itu belum cukup untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih cepat ke level 6%-7%. Terbukti dari realisasi pertumbuhan ekonomi 8 bulan terakhir yang stagnan di 5%.
Ia mengatakan, kondisi ini disebabkan nilai incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi, yakni tambahan investasi yang dibutuhkan untuk 1% pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi. Dengan begitu, rasio investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1% pertumbuhan semakin besar.
Level ICOR Indonesia Chatib tegaskan kini berada pada angka 6,8. Artinya 1% pertumbuhan ekonomi membutuhkan tambahan rasio investasi terhadap PDB sebesar 6,8. Dengan demikian, kebutuhan investasi terhadap PDB harus semakin tinggi untuk mendorong 1% pertumbuhan ekonomi.
“Jadi, jika kita ingin tumbuh 6% sampai dengan 7%, maka kita membutuhkan investasi terhadap PDB antara 41% sampai dengan 47%. Atau di dalam nominal, jika PDB harga berlaku kita adalah Rp 19.500 triliun, kita membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 780 triliun jika ingin tumbuh 6%, atau Rp 1.950 triliun jika ingin tumbuh 7%,” tegas Chatib.
Oleh sebab itu, Chatib menekankan, pentingnya peningkatan produktivitas domestik, untuk menurunkan angka ICOR yang masih tinggi. Peningkatan produktivitas ini bisa dilakukan dengan cara efisiensi perekonomian, seperti memperbaiki kualitas SDM, hingga tata kelola pemerintahan.