Menteri Pertahanan RI, yang juga Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto tiba-tiba muncul di media Inggris. Ia mengisi kolom di laman populer The Economist.
Hal ini terlihat dalam artikel yang terbit akhir pekan berjudul “Indonesia’s president-elect accuses the West of double standards”. Prabowo menulis bagaimana pandangannya ke Gaza, Palestina dan menyindir Barat soal standar ganda yang terjadi terkait masalah di Ukraina dan di Palestina.
“Pada tanggal 9 April, menjelang hari raya Idul Fitri, TNI AU melakukan penerjunan bantuan kemanusiaan di Gaza. Dalam praktiknya, bantuan ini hanyalah setetes air dari lautan kengerian dan kekurangan yang dialami Gaza akhir-akhir ini. Namun, tindakan ini membawa nilai simbolis yang besar bagi masyarakat Indonesia dan bagi saya sebagai presiden terpilih: ini adalah pesan kesedihan dan penderitaan bersama, solidaritas dan dukungan, kepada saudara-saudari kita di Gaza,” tulisnya [ada pembukaan di laman itu dilihat CNBC Indonesia, Senin (29/4/2024).
“Selama enam bulan terakhir kita menyaksikan dengan ngeri ketika Gaza dan rakyatnya menjadi sasaran hukuman kolektif yang kejam, yang melanggar hukum dan norma internasional. Kami berharap dan berdoa setidaknya selama bulan suci Ramadhan penderitaan Gaza bisa berhenti, namun ternyata tidak,” ujarnya.
Ia menambahkan dirinya sebenarnya turut berduka ke warga Israel, atas apa yang terjadi 7 Oktober, saat serangan Hamas dilakukan. Tapi, ia mengatakan peristiwa itu, tak bisa membenarkan apa yang terjadi di Gaza sekarang ini.
“Bagaimana saya bisa? Bagaimana seseorang bisa membenarkan pembunuhan terhadap puluhan ribu warga sipil tak berdosa, yang mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak? Bagaimana seseorang bisa membenarkan tingkat kehancuran, kelaparan, dan kekurangan yang menimpa masyarakat tak berdosa di Gaza, dalam sebuah kampanye yang diyakini oleh miliaran orang di seluruh dunia telah melanggar hukum dan konvensi internasional yang melindungi warga sipil di masa konflik?,” ujarnya.
“Ia pun menyindir bagaimana apa yang ia rasakan tak dirasakan semua pihak. Bagaimana barat mengecam Rusia tak terlihat pada kasus Gaza.
“Namun kemarahan jelas tidak dirasakan oleh semua orang. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, negara-negara Barat memimpin kampanye kecaman global. Mereka menyerukan dunia untuk mengecam Rusia atas nama hak asasi manusia dan hukum internasional. Namun saat ini, negara-negara tersebut masih membiarkan terjadinya konflik berdarah lagi, kali ini di Gaza,” ujarnya.
“Mengapa kehancuran Kota Gaza tidak separah kehancuran Mariupol? Mengapa serangan di Bucha lebih buruk dibandingkan serangan di rumah sakit al-Shifa? Mengapa pembunuhan terhadap warga sipil Palestina kurang layak untuk dikecam dibandingkan dengan pembunuhan terhadap warga sipil Ukraina?,” tambahnya.
Menurutnya semakin banyak orang di Indonesia dan di seluruh dunia merasa bahwa kegagalan pemerintah Barat dalam menekan Israel untuk mengakhiri perang menunjukkan adanya krisis moral yang serius. Ia menunjuk standar ganda ketika melihat Ukraina dan ketika melihat Palestina.
“Hampir setahun yang lalu saya menyerukan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Saya menyerukan gencatan senjata dengan alasan yang sama seperti saya menyerukan gencatan senjata dalam perang yang dilancarkan Israel terhadap Gaza,” jelasnya lagi.
“Saya menyerukan agar pertempuran dihentikan karena warga sipil yang tidak bersalah menanggung akibatnya dengan nyawa mereka; karena kehidupan dan penghidupan sedang dihancurkan; karena perang sebesar ini tidak hanya berdampak pada negara dan masyarakat yang terlibat tetapi dapat menyebar dan melanda seluruh wilayah dan benua,” tambahnya.
“Saya menyerukan gencatan senjata sebagai awal menuju perdamaian jangka panjang karena, sebagai seorang Muslim, sebagai orang Indonesia, saya percaya pada perdamaian dan hidup berdampingan, moderat dan harmonis,” ujarnya lagi.
“Nilai-nilai ini ada dalam DNA negara dan masyarakat kita. Bagi kami, hal ini sama relevannya ketika mereka yang menderita adalah orang Eropa dan ketika korbannya adalah orang Asia atau Afrika. Dan hal-hal tersebut tetap relevan, baik mereka yang terkena dampak adalah orang Kristen, Muslim, atau Yahudi,” jelasnya.
Dijelaskannya pula bagaimana negara-negara dunia harus bersatu mengakhiri perang. Menurutnya ini penting untuk mengakhiri siklus kekerasan.
“Kita harus bersatu untuk segera mengakhiri perang ini. Tapi kita tidak boleh berhenti di situ,” ujarnya.
“Jika kita tidak ingin siklus kekerasan dan penderitaan terulang kembali secara dramatis, seperti yang terjadi selama delapan dekade terakhir, kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan konflik dengan mendirikan negara Palestina merdeka berdampingan dengan negara yang sudah ada, Israel,” katanya lagi.