Pasukan militer Israel melancarkan serangan udara terhadap pengungsi di Rafah, setidaknya 50 orang dilaporkan tewas akibat serangan tersebut. Para analis menyebutkan bahwa Israel telah terjebak dalam perang yang tidak dapat dimenangkannya, terlihat dari kelompok Hamas yang semakin memperkuat pertahanannya.
Menurut Shadi Abdelrahman, seorang analis politik yang meninggalkan Jalur Gaza sebelum perang, ia tidak percaya Israel bisa menghancurkan Hamas sepenuhnya. Hamas tidak seperti kelompok lainnya, mereka memiliki ideologi dan tujuan yang terhubung erat.
Sebelum serangan pada 7 Oktober, Hamas memiliki lima brigade atau 25 batalyon dengan total 30.000 pejuang aktif. Israel mengakui bahwa mereka baru melenyapkan setengah dari pasukan Hamas. Kepala staf Israel mengatakan bahwa setidaknya 900 militan Hamas tewas di Rafah.
Hamas saat ini sedang merekrut kadet baru untuk mengisi jajaran pejuang mereka. Militan Hamas masih mampu melawan dengan menembakkan roket ke Israel. Tentara Israel terus berjatuhan di Jalur Gaza hampir setiap harinya.
Dalam negosiasi dengan Hamas, Israel bersikeras bahwa Hamas tidak boleh ikut campur dalam perundingan. Namun, seorang pejabat Mesir mengatakan bahwa Israel harus membiarkan Hamas berperan dalam pemerintahan di Jalur Gaza saat konflik berakhir.
Miriam Wardak, mantan ajudan penasihat keamanan nasional Afghanistan, mengatakan bahwa tindakan Israel mengingatkannya pada perilaku AS dua dekade lalu. Dia memperingatkan bahwa menghancurkan Hamas bisa sulit dan bahwa tekanan militer bukanlah satu-satunya solusi. Israel perlu meningkatkan kondisi kehidupan di Gaza, mendukung pemerintahan Palestina yang kuat, dan bekerja sama dengan mitra internasional untuk menekan Hamas secara diplomatik dan ekonomi.
Melihat kesalahan yang dilakukan AS di Afghanistan, Wardak yakin bahwa Israel harus mengambil pendekatan yang beragam untuk mengatasi ancaman Hamas secara efektif. Operasi militer besar-besaran hanya akan memperburuk keadaan dan membawa dampak radikalisasi lebih lanjut.