Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan banyak ancaman bencana alam yang mengintai Indonesia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, perubahan iklim, cuaca ekstrem, hingga letusan gunung berapi. “Sejarah membuktikan, bencana alam menjadi ancaman nyata keselamatan masyarakat dunia. Kami, Indonesia, Australia, dan India berkolaborasi untuk melindungi 25 negara di sepanjang Samudera Hindia,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan di situs resmi, dikutip Jumat (9/8/2024). “Perlu diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki banyak ancaman bencana alam. Contohnya adalah gempa bumi, tsunami, perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan letusan gunung berapi. Bencana multi hazard yang harus ditangani dengan serius jika tidak ingin banyak masyarakat yang terdampak,” kata Dwikorita.
Lalu bagaimana kerentanan Indonesia terhadap bencana alam dibandingkan negara lain di dunia? Mengutip laporan World Risk Report 2023 di situs resmi World Population Review, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara berisiko tinggi terhadap bencana alam. Posisi pertama ditempati Filipina sebagai negara paling rawan bencana alam. Laporan berdasarkan data tahun 2023 itu menyebutkan, Filipina yang terletak di Pacific Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik memiliki indeks risiko bencana alam 46,86. Di posisi kedua ada Indonesia dengan indeks risiko bencana 43,5. Dijelaskan, Indonesia yang juga berada di Cincin Api Pasifik, terletak di 3 lempeng tektonik. “Indonesia merupakan negara kedua yang paling rawan terkena bencana alam. Indonesia juga sangat rentan terhadap tsunami,” demikian mengutip World Population Review, Jumat (9/8/2024). Setelah Indonesia, posisi ketiga, keempat, dan kelima sebagai negara paling rawan bencana ditempati India, Meksiko, dan Kolombia. Kelima negara ini masuk dalam daftar paling rawan bencana, sama-sama terletak di Cincin Api Pasifik.
Sementara Jepang, yang disebut-sebut sebagai negara rawan gempa dan baru saja diguncang gempa tsunami M7,1 pada hari Kamis (8/8/2024 waktu setempat), ternyata tidak berada dalam daftar 10 negara rawan bencana. Indeks risiko bencana alam Jepang ada di 20,86, meski skor keterpaparan terbilang tinggi, yaitu 43,67. Skor keterpaparan Jepang ini di atas Indonesia dan Filipina yang ada di 39,89 dan 39,99. Namun skor kerentanan Jepang terbilang rendah, hanya 9,96. Sedangkan Indonesia dan Filipina ada di 47,43 dan 54,92.
Imbauan BMKG
Dwikorita mengimbau pentingnya kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak untuk menjaga keamanan masyarakat dari bahaya bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi. Apalagi, imbuh dia, sebagian masyarakat masih belum memiliki akses terhadap informasi yang menggunakan teknologi canggih dengan pemodelan observasi berdasarkan data dan informasi. Dan, kalau pun memiliki akses atas informasi itu, sebut Dwikorita, mereka mungkin tidak memahami produk teknologi tinggi akibat kesenjangan antara teknologi canggih dan cara yang sederhana dan biasa. Dia mengingatkan, meski pengamatan secara sistematis dilakukan selama 24 jam tanpa henti dengan teknologi canggih, masyarakat masih belum sepenuhnya aman. “Diperlukan sosialisasi untuk menyederhanakan bahasa teknologi menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Misalnya, peringatan dini tsunami dan gempa bumi harus menggunakan bahasa sederhana agar masyarakat cepat mengerti dan lebih peduli demi keselamatan bersama,” tegas Dwikorita. Untuk itu, imbuh dia, BMKG bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Kolaborasi ini bertujuan untuk mengatasi persoalan, tidak hanya soal ilmu pengetahuan, namun juga pendidikan dan pemberdayaan untuk memiliki ketahanan di mana tidak ada korban dan keberlanjutan,” cetusnya.
Dwikorita pun menekankan perlunya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sistematis dalam mentransformasikan bahaya risiko menjadi sebuah ketahanan. “BMKG terus berupaya untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Salah satunya adalah melalui program Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG). Program ini memungkinkan BMKG dan masyarakat saling bertukar pengetahuan tentang mitigasi bencana alam dari sisi teknologi dan kearifan lokal,” ujarnya. “Peserta SLG menjadi perpanjangan tangan BMKG untuk memberikan edukasi kepada masyarakat di lingkungan terdekat agar seluruhnya dapat memahami peringatan dini untuk membantu sesama dalam menghadapi bencana,” kata Dwikorita.
(dce/dce)