Bos Vale Mengungkap Strategi Perusahaan untuk Mengatasi Stigma ‘Dirty Nickel’

by -69 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengungkapkan langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan di tengah tuduhan tentang kualitas nikel yang buruk dari tambang Indonesia, juga dikenal sebagai “dirty nickel”.

Presiden Direktur INCO, Febriany Eddy menyatakan bahwa tuduhan dirty nickel dari dunia akan berdampak negatif pada nikel dari tambang Indonesia. Namun, dia menjelaskan bahwa perusahaan terus menerapkan nilai tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan yang baik (ESG).

“Lebih adil jika kita juga menonjolkan hal-hal positif yang mencerminkan industri kita. Misalnya di PT Vale, kami akan lebih aktif dalam menyuarakan praktik ESG kami untuk mengatasi stigma tersebut,” kata Febriany kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone.

Febriany menyatakan bahwa saat ini perusahaan telah mengurangi emisi karbon dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk menyuplai listrik ke pabrik nikel milik mereka.

“Stigma dirty nickel yang melekat biasanya karena tingginya emisi karbon akibat penggunaan batu bara. Namun, di PT Vale, proses peleburannya sudah menggunakan PLTA 100%. Jadi, kami termasuk yang memiliki intensitas karbon paling rendah,” jelasnya.

Selain mengurangi emisi karbon, perusahaan juga melakukan penanaman kembali hutan atau reforestasi dengan mereklamasi lahan bekas tambang atau di luar konsesi tambang.

“Jumlah lahan yang sudah direhabilitasi sudah mencapai 250% dari yang telah dibuka. Kami sudah melebihi batas yang dibuka sebelumnya. Kami telah menutup dan melakukan reforestasi di luar konsesi,” paparnya.

Untuk mengatasi stigma dirty nickel, Febriany juga menjelaskan bahwa perusahaan membersihkan air limbah tambang agar tidak mencemari lingkungan.

“Air limbah tambang PT Vale dikelola dengan sangat hati-hati dalam proses yang panjang. Setelah memenuhi standar mutu, baru boleh dilepas ke perairan,” pungkasnya.

Febriany juga menyatakan bahwa perusahaan melakukan konservasi biodiversitas untuk meminimalkan dampak dari tambang nikel dan menjaga kualitas lingkungan.

Selain itu, sehubungan dengan aspek sosial, terutama keselamatan pekerja tambang, Febriany menjelaskan bahwa keselamatan kerja menjadi prioritas.

“Keselamatan bukan hanya untuk pekerja, tapi juga untuk komoditas tempat kami beroperasi,” tambahnya.

Selain pada keselamatan kerja, perusahaan juga memiliki program sosial jangka panjang yang termasuk dalam Rencana Induk Program Pengembangan Masyarakat (RIPPM).

“Kami melihat potensi daerah dan bagaimana kami bisa bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat untuk membangun masyarakat mandiri setelah tambang ditutup,” tambahnya.

Terakhir, Febriany menyatakan bahwa perusahaan menerapkan tata kelola bisnis yang etis dan baik untuk mengurangi stigma dirty nickel yang beredar.

“Kami menerapkan prinsip bisnis yang etis dan baik. Bukan hanya sekedar kepatuhan hukum, tetapi juga pada etika yang lebih tinggi,” tutup Febriany.

(wia)