RUU Anti-Pencucian Uang yang Mematikan Ulang Pelaku Kejahatan

by -216 Views

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal untuk segera disahkan. Dengan adanya 2 RUU tersebut, KPK meyakini para pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang tidak bisa lagi melakukan aksinya.

“Peraturan itu akan menyulitkan kalau mau cuci uang,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, dikutip Jumat, (19/4/2024).

Pahala menjelaskan bagaimana dua RUU tersebut dapat mencegah terjadinya pencucian uang. Dia mengatakan selama ini pelaku TPPU kerap bertransaksi menggunakan uang tunai untuk menghindari pengawasan.

Nah, RUU Pembatasan Uang Kartal, kata dia, akan membatasi jumlah transaksi tunai menjadi maksimal Rp 100 juta. Dengan demikian, setiap transaksi yang berjumlah lebih dari itu harus dilakukan lewat perbankan yang jauh lebih mudah diawasi.

Dia mencontohkan dalam beberapa kasus TPPU, uang hasil kejahatan dititipkan kepada nominee. Nominee itu bisa anggota keluarga bahkan asisten rumah tangga. Uang hasil kejahatan tersebut kemudian digunakan untuk membeli rumah atas nama si nominee tersebut.

Pahala berkata apabila transaksi-transaksi tersebut dilakukan secara tunai, maka akan sangat sulit dideteksi. Sementara, apabila transaksi dilakukan melalui sistem keuangan, perbankan pasti mencatat transaksi tersebut dan meneruskannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Misalnya seseorang menyembunyikan uang Rp 5 miliar ke asisten rumah tangga, terus asisten itu disuruh membeli rumah. Kalau pembelian dilakukan melalui perbankan maka akan terlacak sebagai transaksi mencurigakan karena tidak sesuai profil,” kata dia.

Menurut Pahala, RUU Pembatasan Uang Kartal dan Perampasan Aset itu seperti satu paket. RUU Pembatasan Uang Kartal dapat mencegah tindak pidana pencucian uang terjadi.

Namun, ketika TPPU sudah terjadi dan terendus penegak hukum, maka keberadaan RUU Perampasan Aset dapat memudahkan negara untuk mengambil alih aset hasil tindak pidana kejahatan tersebut.

“Harusnya perampasan dan pencegahannya itu bisa didorong bareng,” kata dia.

Nasib dua RUU tersebut kembali menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo menyinggung mandeknya pembahasan rancangan aturan ini di DPR. Jokowi mengatakan dua aturan itu sebenarnya sudah diserahkan ke Senayan.

Namun, hingga penghujung masa pemerintahannya, DPR tak kunjung memulai pembahasan aturan ini. Padahal, kata dia, dua RUU ini amat penting untuk mencegah korupsi dan mengembalikan uang negara yang dirampok.

Kepala Pusat Perindustrian Institute of Development Economics dan Finance (Indef) Andry Satrio juga mendesak agar kedua rancangan aturan ini segera disahkan. Dia mengatakan kedua aturan ini akan memberikan dampak positif pada ekonomi karena menambah penerimaan negara.

“Pemerintah memiliki serangkaian program yang tentunya membutuhkan penerimaan yang cukup besar,” kata dia.

Dia menuturkan dengan adanya dua aturan ini, maka kebocoran anggaran bisa dikurangi. Selain itu, dana-dana siluman juga bisa dirampas untuk kepentingan negara. “Dengan cara ini juga dapat memberikan efek jera terhadap penyelewengan anggaran,” katanya.