Apakah Bantuan Pemerintah kepada Kelas Menengah RI Berdampak Positif?

by -44 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Kelas menengah di Indonesia tengah menjadi sorotan karena daya belinya tertekan. Adapun, tekanan ekonomi yang dihadapi kelas menengah ini semakin keras, karena tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edi Priyono membantah hal tersebut. Menurutnya, pemerintah sudah menggelontorkan banyak kebijakan yang membantu kelas menengah, meskipun tidak dilabeli pemberiannya khusus untuk kelas menengah.

“Sebenarnya meskipun tidak pernah kita secara spesifik sebut itu sebagai insentif atau stimulus untuk kelas menengah, sebenarnya sudah ada beberapa program pemerintah yang menyasar kelas menengah,” kata Edi dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Minggu (11/8/2024).

Edi mencontohkan, kebijakan itu ada yang dalam bentuk subsidi atau insentif pajak. Di antaranya ialah subsidi untuk pembelian kendaraan listrik roda dua hingga insentif pajak berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk roda empat.

Sebagaimana diketahui, aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 (PMK 8/2024) serta Peraturan Pemerintah Perindustrian Nomor 21 Tahun 2023.

“Kita tahu kendaraan listrik itu kan konsumsi kelas menengah, bukan konsumsi kelas bawah, menengah ke atas,” tegasnya.

Lalu, Edi mengatakan, pemerintah juga memberikan program rumah bersubsidi untuk masyarakat berpendapatan sampai dengan Rp 7 juta per bulan, dan sampai Rp 8 juta untuk yang sudah menikah. Ini diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/KPTS/M/2023.

“Itu adalah pendapatan maksimal Rp 7 juta sebulan. Jadi ini kita harapkan memang yang dapet yang kelas menengah ya, yang antara pendapatan per kapita 1 sampai 3 ya, mudah-mudahan ini termasuk yang ikut dapet dan bukan yang kelas atasnya lagi ya,” tuturnya.

Di sisi lain, Edi mengatakan, juga ada beberapa program yang sifatnya inklusif, sehingga meskipun tidak secara spesifik ditujukan untuk kelas menengah, bisa digunakan oleh kelas menengah. Ia mencontohkan program itu ialah subsidi pupuk.

“Subsidi pupuk itu kan untuk pertanian kalau tanaman pangan itu batas luas maksimal lahan itu 2 hektare, rata-rata penguasaan lahan di Indonesia itu sekitar 0,4 hektare, sehingga kalau kita buat batasan 2 hektare, itu sebenarnya sudah mengcover atau termasuk juga kepada pertani yang menguasai lahan yang bukan pertani gurem,” tutur Edi.

“Karena pertani gurem itu definisinya kan di bawah 0,5 hektare. Jadi kita sampai batas 2 hektare, itu masih berikan subsidi pupuk,” ujarnya.

Bantuan pemberian beras dan sejenisnya ia katakan juga termasuk ke dalam program yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan kelas menengah. Sebab, kebijakan bantuan sosial ini menurutnya diperuntukkan bagi kelompok 40% masyarakat terendah. “Itu juga sebenarnya kalau 40% kan bukan semuanya miskin, tapi termasuk yang near poor juga,” tutur Edi.

Di level industri, ia mengatakan, sokongan untuk lapangan kerja juga telah mendapat bantuan dari pemerintah supaya memiliki daya saing. Harapannya iklim usaha industri terjaga sehingga lapangan kerja terus terbuka lebar untuk menjaga daya beli para pekerjanya yang mayoritas ialah kelas menengah.

“Industri-industri tertentu yang diberi fasilitas untuk memperoleh gas, harga gas dengan harga murah, yaitu US$ 6. Kalau harga pasarnya kita kan US$ 11. Tapi memang hanya untuk industri-industri tertentu, sehingga kita harapkan perusahaan-perusahaan itu masih tetap bisa bersaing,” ucap Edi.

Terlepas dari berbagai program itu, Edi menekankan, pemerintah tetap terbuka untuk menerima masukan bila masih ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk membantu kelas menengah ke depan.

“Kita terbuka ya kalau misalkan masih ada apa ini yang masih bisa dilakukan untuk membantu atau mendorong konsumsi kelas, terutama untuk kelas menengah. Di samping kita tetap memberikan perhatian besar kepada kelompok miskin dan rentan miskin tentu saja,” ucap Edi.

Kendati demikian, laporan terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI memperkirakan 8,5 juta kelas menengah jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Penurunan jumlah kelas menengah terjadi pada periode 2018-2023.

Ekonom LPEM UI Teuku Riefky mengatakan pada 2023, kelas menengah di Indonesia mencapai 52 juta orang dan mewakili 18,8% dari total populasi. Proporsi tersebut menyusut dibandingkan periode sebelumnya.

“Jumlah penduduk kelas menengah baru-baru ini mengalami penurunan,” kata dia dalam laporan risetnya, dikutip Kamis, (8/8/2024).

Riefky mengatakan ‘booming’ kelas menengah RI sempat terjadi pada periode 2014-2018. Ketika itu, jumlah kelas menengah meningkat dari 39 juta orang menjadi 60 juta orang. Proporsi kelas menengah dari populasi pun meningkat dari 15,6% menjadi 23%. Riefky menggunakan standar Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kelas menengah.

Namun, dia mencatat jumlah itu menyusut setelah 2018. “Sejak saat itu, penduduk kelas menengah mengalami penurunan hingga lebih dari 8,5 juta jiwa,” kata dia.

Senada, Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019.

Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah rentan atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.

“Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah ‘turun kelas’ menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan,” tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pengeluaran 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.

(bah/haa)