Industri Susu Bayi Terancam PHK karena Aturan Terbaru bukan Hanya tentang Tembakau

by -8 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Peraturan Pemerintah (PP) no 28 tahun 2024 sebagai turunan Undang Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 menjadi sorotan karena mengancam industri tembakau. Di balik itu, ternyata industri susu bayi juga terancam akibat regulasi baru ini, yakni ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam pasal 33 PP 28/2024, produsen atau distributor susu formula bayi dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif. Secara teknis, akan ada pengetatan pemberian informasi oleh tenaga medis maupun influencer ataupun diiklankan media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial.

“Jika regulasinya terlalu ketat, yang justru bisa berdampak negatif terhadap industri, ya kita bisa kerepotan nanti kalau angka PHK meningkat lagi pada industri produk formula, susu formula, atau produk-produk bernutrisi,” kata Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam, Kamis (26/9/2024).

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, korban PHK industri manufaktur telah mencapai 46 ribu pekerja sepanjang tahun 2024. Industri tekstil, garmen dan alas kaki menjadi sektor terbesar penyumbang PHK akibat anjloknya permintaan konsumen dalam tiga tahun terakhir.

Hal itu menunjukkan bahwa banyak industri yang tengah mengalami kesulitan saat ini, muncul kekhawatiran bahwa regulasi baru dapat membuat industri susu bayi menjadi kesulitan. Selain itu, industri media juga bisa ikut terdampak. Padahal sudah ada pembatasan kegiatan promosi susu formula sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999.

“PP sebelumnya (PP No.69 Tahun 1999) sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun, di mana industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” sebut Piter.

Tujuan regulasi ini agar ASI ekslusif lebih digencarkan. Namun Data BPS menunjukkan bahwa angka pemberian ASI Eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022 dari 68,84% menjadi 72,04% (2022) dan 73,9% (2023). Namun demikian, di sisi lain, pada tahun 2023 terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun 0,1% dari 21,6% di tahun 2022 menjadi 21,5% di tahun 2023.

“Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI Eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta penguatan akses informasi atas pilihan nutrisi yang sehat bagi bayi,” kata Piter.

(fys/mij)