Jakarta, CNBC Indonesia – Polemik iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sempat memanas kala para pekerja, baik itu ASN, pegawai swasta, hingga pekerja mandiri yang memiliki penghasilan setidaknya senilai upah minimum diwajibkan membayar iuran Tapera sebesar 3% dari gajinya.
Komisioner Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho mengaku kaget, ketika isu Tapera belum lama ini mencuat dan menjadi polemik di tengah masyarakat. Pasalnya, kata dia, iuran 3% dari gaji itu sebetulnya sudah diatur sejak tahun 2020 lalu, yakni termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
“Kita pahami bahwa pada akhir Mei 2024 lalu, informasi tentang Tapera ini sempat membuat heboh, bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Terus terang kita juga kaget. Apalagi kami baru ditugaskan kurang lebih 1,5 bulan. Kami dilantik di tanggal 13 Maret 2024,” kata Heru dalam Forum BAKOHUMAS ‘Kenapa Harus Tapera?’ di Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Dengan dilantiknya Heru menjadi Komisioner BP Tapera, katanya, dia diberikan tugas utama untuk melakukan akselerasi dokumen perencanaan anggaran yang saat itu masih menunggu keputusan (on pending) untuk menegakan tata kelola, yang salah satunya bagaimana rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui revisi PP Nomor 25 Tahun 2020.
“Jadi revisi PP Nomor 25 Tahun 2020 ini kita upayakan akselerasi, dan menjadi bagian dari pending matters awal yang untuk segera ditertibkan. Karena, ada beberapa substansi peningkatan kualitas tata kelola yang merupakan amanah dari BPK, yang belum diikuti dengan cantolan regulasi yang sepadan, setingkat PP,” jelasnya.
Buruh dari sejumlah serikat menggelar demonstrasi di depan Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Kamis, (27/6/2024). Mereka menuntut pemerintah membatalkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). (CNBC Indonesia/Rosseno Aji))
|
“Contohnya adalah pengelolaan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) ya, yang tadi mungkin gambar-gambar rumahnya. Itu belum diatur. Padahal penugasan untuk mengelola FLPP yang bersumber dari APBN itu sudah diamanahkan dari tahun 2021, PP nya tadi dari 2020. Sehingga belum ada cantolannya. Kita percepatlah cantolan untuk pengelolaan FLPP dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola,” imbuh dia.
Akan tetapi revisi tersebut, katanya, justru menuai polemik di tengah masyarakat. Dia menyebut respon khalayak begitu luar biasa, di mana yang menjadi fokus masyarakat bukanlah peningkatan tata kelola FLPP-nya, melainkan restatement dari iuran 3%, yang mana sebetulnya itu juga sudah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2020.
“Saya renungi lagi, saya cek lagi itu PP Nomor 25 Tahun 2020 terbit kapan? Tanggal 20 Mei 2020. Oh pantas, padahal pengaturan 3%-nya itu sudah lama. Cuma waktu itu karena kita lagi ada pandemi Covid-19, Peraturan Pemerintah dan seluruh masyarakat fokus ke isu Covid-19. Adanya PP yang baru terbit itu rupanya luput dari perhatian publik. Baru ketika muncul revisinya, walaupun itu nggak ngotak-ngatik yang 3% tadi, tapi karena kita restatement iuran direvisi PP-nya, kemudian itulah yang dihebohkan,” ucap dia.
Ia pun menyadari bahwa sosialisasi atau memberikan pemahaman kepada seluruh mitra kerja dan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi BP Tapera.
“Bagaimana program-program tadi untuk menyajikan dana murah jangka panjang. Konsepsinya seperti apa? Sehingga harus ada nabung bareng-bareng. Ini yang perlu dipahami ya, bahwa Tapera itu bukan iuran, namanya juga Ta, Tabungan Perumahan Rakyat,” kata Heru.
“Ini saya kira memang memerlukan konsen khusus. Berbagai pihak juga memberikan masukan kepada kami supaya Tapera ini bisa lebih disosialisasikan secara masif. Sehingga seluruh elemen masyarakat, wabil khusus ASN, yang merupakan peserta inti sebenarnya, lebih paham lagi konsep dari Tapera,” pungkasnya.
(wur)
Next Article
Gaji Karyawan Dipotong 3% Tiap Bulan Buat Tapera, Ini Kata Jokowi