Jakarta, CNBC Indonesia – Penelitian yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan ketimpangan di Indonesia antara pemilik kekayaan triliunan rupiah dengan masyarakat kelas pekerja semakin memburuk. Tercermin dari jomplangnya kekayaan yang diperoleh dari akumulasi pendapatan.
Untuk menggambarkan pemburukan ketimpangan ini, para peneliti Celios tidak menggunakan ukuran rasio gini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) karena dianggap kurang valid dalam menggambarkan ketimpangan sebenarnya, akibat menggunakan konsumsi rumah tangga sebagai dasar perhitungannya, bukan pendapatan.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan rilis terbaru BPS, angka gini ratio per Maret 2024 sebesar 0,379, malah turun dibanding Maret 2023 sebesar 0,388. Gini ratio digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi koefisien gini, semakin tinggi pula ketimpangan di suatu wilayah.
“Padahal sejak 2020, kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15%. Ini adalah cerminan ketimpangan yang semakin menghambat mobilitas sosial,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara saat mengungkapkan isi ‘Laporan Ketimpangan Indonesia 2024: Jet Pribadi untuk Si Kaya dan Sepeda Butut untuk Si Miskin, dikutip Kamis (26/9/2024).
Temuan utama laporan ini menunjukkan kekayaan 50 triliuner teratas di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang di Indonesia.
Pada 2019, tim peneliti Celios mencatat total kekayaan 50 triliuner di Indonesia senilai Rp 2.470,57 triliun, dan kini pada 2024 telah mencapai Rp 5.243,07 triliun. Total kekayaan top 50 crazy rich itu naik konsisten dari Rp 2.470,57 triliun ke Rp 2.417,39 triliun, Rp 2.672,65 triliun, Rp 2.911,21 triliun, Rp 4.078,03 triliun, hingga akhirnya mencapai Rp 5.243,07 triliun.
Adapun untuk data perbandingan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia itu yang setara dengan keyaan 50 juta orang Indonesia, tim peneliti Celios menghitung antara total kekayaan 50 crazy rich pada 2023 yang senilai Rp 4.078,03 triliun dengan median kekayaan dari Global Wealth Report 2023 senilai Rp 82,2 juta per orang dewasa.
Dengan begitu, keluar lah hasil angka kekayaan 50 orang super kaya di Indonesia berdasarkan peringkat Forbes pada 2023 setara dengan kekayaan atau tabungan milik 49.610.705 orang dewasa di Indonesia, yang jika dibulatkan totalnya 50 juta orang.
Selain itu, tim peneliti Celios juga menganggap jumlah kekayaan 50 triliuner terkaya Indonesia bisa membayarkan gaji seluruh pekerja penuh dalam angkatan kerja di Indonesia sepanjang tahun.
Perhitungan ini didapati dari akumulasi kekayaan 50 triliuner teratas dalam data Forbes 2023 yang mencapai US$ 251,73 miliar atau senilai Rp 4.078 Triliun. Sementara, jumlah tenaga kerja penuh dalam angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional sebesar 96,39 juta. Asumsi yang digunakan dalam penghitungan ini menggunakan rerata gaji/upah nasional pada 2023 sebesar Rp 3.178.227.
Dengan demikian, anggaran yang diperlukan untuk menggaji seluruh tenaga kerja penuh dalam angkatan kerja senilai Rp 306 Triliun per bulan. Perhitungan ini membandingkan bahwa kekayaan 50 triliuner teratas setara dengan gaji/upah yang diterima 96,39 juta tenaga kerja di Indonesia selama 13 bulan.
Tim peneliti Celios juga mengungkap temuan lain yang menarik, yaitu jika kekayaan 50 triliuner terkaya Indonesia dibagikan ke seluruh pengangguran di Indonesia, maka masing-masing orang akan mendapat Rp1 0,4 juta.
Basis perhitungannya ialah akumulasi kekayaan 50 triliuner teratas dalam data Forbes 2023 yang senilai US$ 251,73 miliar atau setara Rp4.078 Triliun, dan data Survei Angkatan Kerja Nasional mengungkapkan terdapat 7,86 juta pengangguran dalam angkatan kerja. Apabila kekayaan 50 triliuner dialirkan merata, setiap orang yang menganggur akan mendapatkan Rp 10.376.656.
Yang lebih mencengangkan ialah temuan pesatnya kenaikan pendapatan orang kaya dibanding kenaikan upah kelas pekerja Indonesia. Tim peneliti Celios mengatakan bahwa sejak k 2020, kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15%.
Temuan ini Tim peneliti Celios peroleh dari pembacaan terhadap data Forbes atas kekayaan tiga orang terkaya yang spesik dilakukan pada kondisi krisis akibat pandemi COVID-19 dengan pengamatan dalam periode 2020 sampai 2023.
Mereka mencatat pemuncak klasemen triliuner terkaya secara berurutan adalah Budi dan Michael Hartono (US$48 Miliar atau Rp777,6 Triliun), Prajogo Pangestu (US$43,7 Miliar atau Rp707,9 Triliun), Low Tuck Kwong (US$27,2 Miliar atau Rp440,6 Triliun). Dalam waktu tiga tahun, kekayaan tiga orang terkaya secara akumulatif mengalami kenaikan sebesar US$75,50 miliar atau senilai Rp1.223 triliun.
Kenaikan kekayaan tersebut mengartikan pertumbuhan sebesar 174% dan berhasil mengakumulasikan kekayaan mencapai US$118,90 atau senilai Rp1.926 Triliun.
Sementara itu, penghitungan perbandingan untuk kelas pekerja menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional terkait informasi rerata upah/gaji tenaga kerja di 17 sektor. Rerata upah/gaji tenaga kerja nasional per Agustus 2020 sebesar Rp2.756.345 dan mengalami peningkatan menjadi Rp3.178.227 per Agustus 2023.
Kenaikan upah/gaji kelas pekerja dalam kondisi krisis akibat pandemi COVID-19 yang diamati dalam periode 2020 sampai 2023 hanya mencapai 15,31%.
“Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk mengatasi ketimpangan ini. Kebijakan pengampunan pajak dan insentif fiskal yang ada saat ini justru cenderung menguntungkan perusahaan besar dan orang-orang kaya, sementara masyarakat kelas menengah-bawah dipaksa patuh membayar pajak,” ucap Direktur Keadilan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar.
Sebetulnya, Bank Indonesia juga mencatat, bahwa orang kaya di Indonesia menjadi motor konsumsi utama yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Solikin M Juhro mengatakan, dari total porsi pertumbuhan konsumsi rumah tangga per kuartal II-2024 yang sebesar 4,93%, mayoritas didominasi konsumsi kelas atas sebesar 2,30%, sisanya kelas menengah 1,74% dan kelas bawah 0,89%.
Porsi itu tumbuh tipis untuk setiap golongan kelas masyarakat dibanding kuartal sebelumnya. Sebab, saat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91% pada kuartal I-2024, porsi konsumsi kelas atas 2,29%, kelas menengah 1,73%, dan kelas bawah 0,88%.
Bila dikomparasikan dengan periode sebelum krisis Pandemi Covid-19, struktur porsi konsumsi ini tak ada perubahan. Pada kuartal IV-2019, saat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97%, porsi kelas atas juga masih 2,29%, kelas menengah 1,82%, dan kelas bawah 0,86%.
“Dari sisi konsumsi rumah tangga ini masih cukup kuat sebetulnya 4,9%, tapi banyak ditopang kelompok kelas atas,” kata Solikin saat Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta, dikutip Rabu (25/9/2024).
Tak heran maka jenis barang yang dikonsumsi rumah tangga Indonesia mayoritas berupa barang-barang tersier berupa kesehatan dan pendidikan, transportasi dan komunikasi, hingga restoran dan hotel.
Urutan kedua ialah barang-barang primer atau kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman selain restoran. Sedangkan urutan terakhir ialah barang sekunder seperti pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan, serta perumahan dan perlengkapan rumah tangga.
“Biasanya kelompok atas identik dengan pengeluaran-pengeluaran tersier,” ucap Solikin.
(haa/haa)