Ekonomi RI Sedang Dalam Masalah, Bukan Halusinasi! 7 Bukti

by -77 Views

Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani menegaskan bahwa proyeksi ekonomi dunia diperkirakan akan tetap suram hingga tahun depan. Dia juga mengingatkan tentang besarnya tantangan dan berbagai risiko ekonomi global yang mungkin terjadi hingga tahun 2025. “Kami sudah menyampaikan bahwa lingkungan global masih dinamis dan tantangannya semakin tinggi,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, seperti dilansir pada Kamis (13/6/2024). Setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan yaitu suku bunga tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, percepatan penuaan populasi dunia, dan dampak buruk dari perubahan iklim.

“Kita melihat geopolitik yang dapat menyebabkan perubahan besar dan bahkan menciptakan tatanan ekonomi baru, no body knows. Restriksi perdagangan baru yang muncul pada tahun 2021 meningkat. Pada tahun 2023, sebanyak 3000 pembatasan perdagangan diberlakukan dan nilainya tidak main-main,” ujar Sri Mulyani. Tantangan-tantangan ini memiliki sifat ekonomi, seperti inflasi. Lonjakan inflasi di beberapa negara terutama di negara maju direspon dengan kenaikan suku bunga acuan. Saat ini, suku bunga acuan berada pada level yang tinggi dalam jangka waktu yang lama karena inflasi tidak menunjukkan penurunan.

Implikasi dari kebijakan di negara-negara maju dalam menanggapi inflasi tinggi, likuiditas yang ketat, dan kenaikan suku bunga menyebabkan tekanan arus modal keluar dan menimbulkan biaya utang yang meningkat, ini dirasakan oleh semua negara baik yang menaikkan suku bunga seperti di AS dan Eropa maupun dampak yang merembes ke seluruh dunia,” jelasnya.

Dari dalam negeri, kondisi ekonomi mulai mengalami tantangan yang serupa. Nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga saat ini membuat ekonomi Indonesia dalam ancaman. Jika kondisi ini terus berlanjut, berbagai dampak buruk dapat menghantam Indonesia, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga melemahnya daya beli. Data ekonomi saat ini cukup menimbulkan kecemasan bagi berbagai pihak, termasuk harga barang-barang yang terus mengalami kenaikan di tengah daya beli masyarakat yang belum dalam kondisi terbaiknya.

Dolar Amerika Serikat (AS) (DXY) cenderung mengalami kenaikan belakangan ini. Pada pertengahan Maret 2024, DXY berada di angka 103 dan pada 22 April 2024, menguat menjadi 106 atau naik sebesar 2,91%. Kenaikan DXY ini memberikan tekanan bagi rupiah. Pada pertengahan Maret 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di angka Rp15.575/US$. Namun, pada 19 April 2024, turun ke level Rp16.250/US$1. Pada 1 April 2024, DXY berada di level 106,1, ini merupakan level tertinggi hingga pertengahan tahun 2024. Rupiah terus tertekan dan sudah melemah hampir 2% sepanjang bulan April.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyatakan bahwa pelemahan rupiah sejak akhir Desember 2023 hingga saat ini mencapai 4,93%, namun lebih baik dibandingkan dengan mata uang Filipina, Korea Selatan, dan Thailand yang sudah melebihi 5%. Destry yakin bahwa rupiah akan kembali menguat. “Ke depan, BI memperkirakan nilai tukar rupiah akan tetap stabil dengan kecenderungan menguat,” tegas Destry.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pada Maret 2024, kredit perbankan tumbuh double digit, yaitu sebesar 12,40% year on year (yoy), dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 11,28% yoy atau menjadi Rp7.245 triliun. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan bahwa pertumbuhan kredit perbankan tertinggi terjadi pada sektor investasi, yaitu 14,83% yoy, sementara kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing tumbuh 12,30% dan 10,22%. Sebelumnya, pertumbuhan kredit mencapai 11,28% secara tahunan (yoy) per Februari 2024 menjadi Rp7.095 triliun.

Berdasarkan data penjualan mobil PT Astra International Tbk, penjualan secara grosir (dari pabrik ke dealer) mengalami penurunan 23,8% year on year (YoY) pada tiga bulan pertama 2024. Penjualan tersebut mencapai 215.069 unit pada periode Januari-Maret 2024, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 282.601 unit. Kredit yang lebih selektif dari proses leasing atau perusahaan pembiayaan memberi dampak kepada produsen mobil, salah satunya Toyota, dan ini dapat berdampak pada penjualan yang menurun.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%. Suku bunga yang tinggi ini berdampak pada kredit yang berpotensi semakin mahal, jika bunga kredit terus naik, masyarakat cenderung enggan untuk mengambil kredit baik secara perorangan maupun perusahaan untuk ekspansi bisnis.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada bulan Mei 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,03% month to month (mtm) dengan inflasi tahunan sebesar 2,84% year on year (yoy). Inflasi tahun kalender tercatat sebesar 1,16%. Pemerintah tetap mewaspadai perkembangan harga pangan guna menjaga akses pangan pokok masyarakat. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan bahwa pemerintah terus konsisten dalam mengantisipasi risiko gejolak harga ke depan, terutama karena tantangan cuaca ekstrem.

Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2024 menurun menjadi 125,2, lebih rendah dari 127,7 pada April 2024, meskipun tetap dalam area optimis (>100). Porsi pengeluaran responden untuk konsumsi terus mengalami penurunan. Pembelian barang tahan lama turun dari 116,4 pada Maret menjadi 112,7 pada Mei 2024, penurunan terjadi di semua kelompok pengeluaran. Rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi juga mengalami penurunan pada Mei 2024.

Rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance mengalami peningkatan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2024 menunjukkan bahwa rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan. Rasio NPF net per April 2024 juga mengalami kenaikan menjadi 0,89%. Kesimpulannya, kondisi ekonomi baik di tingkat global maupun domestik masih menunjukkan berbagai tantangan dan risiko yang harus dihadapi untuk mencapai pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan.